Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) melakukan demonstrasi memadati jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (4/11/2016). Ribuan massa ini menuntut penuntasan proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga melakukan penistaan agama menginap di Masjid Istiqlal. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Abdul Chair Ramadhan menilai, pengaturan delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak semata untuk melindungi agama tersebut.

Menurutnya, delik agama dalam KUHP mengacu pada sebuah teori yang memandang bahwa agama itu sebagai kepentingan umum yang harus dilindungi atau diamankan oleh negara.

“Konstruksi hukum kriminalisasi terhadap delik agama tidak semata-mata ditujukan kepada agama yang hendak dilindungi, akan tetapi juga menyangkut keamanan dalam negeri,” papar Abdul dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (13/11).

Dipaparkan Abdul, dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, agama menjadi pedoman tata cara berkehidupan di tanah air. Dalam hubungan sosial antara warga negara, agama pun menempati kedudukan yang penting.

Maka kemudian ia berpandangan bahwa agama dan negara memiliki hubungan secara simbiotik, yakni mempunyai hubungan timbal-balik dan saling memerlukan satu sama lain.

“Di satu sisi, agama memerlukan negara agar dapat berkembang. Di sisi lain, negara juga memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika,” jelasnya.

Oleh karena itu, apabila kepentingan agama diabaikan ketika terjadi penistaan atau penodaan terhadap suatu agama, dikhawatirkan menjadi pintu timbulnya ancaman terhadap keamanan agama tersebut.

Seperti kondisi saat ini di Indonesia. Massivnya gerakan Aksi Bela Islam di berbagai kota menuntut dilakukannya proses penegakan hukum yang cepat dan tepat.

Kenyataan bahwasanya umat Islam ‘marah’ terhadap terduga penistaan agama Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pun tak bisa dipungkiri.

“Seyogyanya, kenyataan ini harus dipahami sebagai sinyal adanya konflik internal (negara), akibat ketidaktegasan pihak Kepolisian dalam menerapkan hukum,” papar Abdul. (M Zhacky Kusumo)

Artikel ini ditulis oleh: