Jakarta, Aktual.com – Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux dalam RUU Penyiaran yang masuk tahap harmonisasi berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.
Dalam konsep tersebut dimana frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI. Hal itu menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
”Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dilakukan oleh lembaga yang dimiliki oleh Pemerintah,” kata dia di Jakarta, Senin (25/9).
Ishadi menegaskan bahwa konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux operator akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Palita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, untuk menjamin kebebasan berpendapat maka sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.
“Pandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termajinalisasi. Dengan skema itu tentu berpotensi
menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat,” kata dia.
Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov Sagala menambahkan, penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital timbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby