Jakarta, Aktual.co — Sepanjang bulan Januari hingga Februari 2015, PT Pertamina mencatatkan kerugian sebesar USD 212,3 juta atau setara dengan Rp2,7 triliun, dengan (asumsi Rp 13000/USD). Namun, pertamina sendiri mengklaim bahwa kerugian yang diderita perseroan tersebut, salah satunya disebabkan adanya persedian stok minyak pada Oktober 2014, yang saat itu harganya masih tinggi.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Victor Edi Simanjuntak menyatakan, pihaknya akan melakukan penyelidikan terkait kerugian yang dialami pertamina, apabila sudah ada laporan yang diterima Bareskrim.
“Belum ada laporan soal itu. Kalau ada nanti kita sampaikan,” ujar Victor kepada Aktual.co di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (23/4).
Dia menegaskan, jika laporan kerugian yang di bebankan kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu timbul karena tindakan yang memenuhi unsur pidana, pihaknya akan bertindak cepat untuk mendalami penyebab kerugian perusahaan pelat merah tersebut.
“Kalau ada laporan kenapa tidak?. Pokoknya kalau ada laporan,” tegas jenderal bintang satu itu.
Bahkan, Victor menambahkan, apabila ada laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka itu akan menjadi pintu masuk pihanya menelusuri kerugian pertamina. Apakah sambung dia, dalam audit nanti terdapat tindakan penyalahgunaan wewenang atau memperkaya diri sendiri dan orang lain.
“Nanti kalau mencari (kerugian negara) itu dari analisa. Harus ada laporan dari BPK baru iya (penyelidikan). Harus ada laporan lho,” tutupnya.
Sebelumnya, Analis Ekonomi AEPI (Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia), Kusfiardi menilai bahwa kerugian sebesar Rp2,7 Triliun yang dialami PT Pertamina (Persero) tersebut berbanding terbalik dengan amanat Undang-Undang (UU) Perseroan yang menyebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus bisa meraup keuntungan.
“Konteks UU perseroan dan BUMN mestinya mengikat pada BUMN yang berbentuk persero. Harus ada audit BPK untuk menelisik lebih jauh apakah dalam kerugian pertamina memenuhi unsur pidana,” kata Kusfiardi melalui layanan pesan singkatnya kepada Aktual.co di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, jika ditemukan unsur tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain, maka sudah seharusnya diproses melalui hukum. “Harus diproses hukum atas perbuatannya memperkaya diri sendiri dan orang lain yang berakibat pada kerugian perusahaan milik negara,” ujarnya.
Sehingga, sambung dia, jika kerugian perseroan timbul karena tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi (Tipikor) maka bisa dikenai delik tipikor. Namun jika kerugian korporasi dikarenakan situasi yang dianggap lazim akibat kondisi pasar, maka bisa saja dari hasil audit BPK jajaran manajemen dicopot akibat buruknya kinerja.
“Yang lebih pas untuk Pertamina ya buruknya kinerja direksi dan manajemen. Paling dekat harus ada tindakan terhadap direksi dan manajemen Pertamina tersebut. Bisa dengan copot direksi bahkan sampai level manajer,” tuntasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby

















