Jakarta, Aktual.com – Timor Leste merupakan korban imperialisme Australia yang terus menyedot minyak dari wilayah perairannya. Pernyataan itu disampaikan aktivis Klibur Estudiante Timor Leste (Keustil), Nelson Pereira di sela unjukrasa di Kedutaan Australia, di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (24/3).

Tutur dia, perusahaan minyak yang berbasis di Australia mulai lakukan eksplorasi saat Timor Leste masih dijajah Portugis pascapenemuan potensi cadangan minyak di dasar laut pertengahan 1950-an. “Timor Leste korban imperialisme Australia,” ucap dia kepada Aktual.com.

Sepeninggal Portugis, Australia di tahun 1971-1972 lakukan perundingan ilegal bersama Pemerintah Indonesia untuk membagi-bagi pengolahan wilayah maritim yang disebut Celah Timor (Timor Gap).

Lewat perjanjian yang ironisnya tanpa melibatkan rakyat Timor Leste itu, Indonesia maupun Australia saling berbagi 50:50 di Celah Timor. Sebetulnya, kata Nelson, Indonesia dalam perjanjian itu sebenarnya tidak mendapat keuntungan. Sebab meskipun ada kesepakatan bagi hasil 50:50, 80persen wilayah ladang minyak ada di dalam kuasa Australia, sedangkan 20persen lagi dieksplorasi secara bersama.

Perjanjian sarat ketimpangan itu terus berlanjut sampai 11 Desember 1989. Kedua pemerintahan negara itu menandatangani Perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty). Isinya, mereka membuat satu pengaturan untuk berbagi pendapatan minyak yang dikenal dengan zona kerjasama atau Zone of Cooperation (ZOC).

Berlanjut lagi pada 11 Desember 1991, mereka memberi kontrak produksi minyak ke Philips Energy (kelak menjadi Conoco Philips), Royal Dutch Shell, Woodside Australian Energy (menjadi Woodside Petroleum) untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi Celah Timor. “Di ladang minyak dan gas Bayu-Undan, Philipps Petroleum mendapatkan 90persen dari royalti,” kata dia.

Sedangkan Woodside Australian Petroleum, BHP dan Shell mengeksploitasi cadangan minyak di ladang Laminaria-Carollina hingga 100 juta barel lebih. Pemerintah Australia mendapat keuntungan US$ 900 juta. “Tanpa pernah dinikmati orang Timor,” kata dia.

Kondisi itu ternyata tetap berlangsung meskipun Timor Leste kemudian lepas dari Indonesia pascareferendum 30 Agustus 1999. Pemerintah Australia tidak mengindahkan tuntutan Timor Leste yang baru lahir sebagai sebuah negara baru. Australia tetap ngotot berpegangan pada kesepakatan tahun 1989 dengan pemerintah Indonesia.

“Walaupun Timor Leste sudah merdeka, Australia tetap saja menggunakan kesepakatan (1989) ilegal itu,” kata dia.

Isi perjanjian itu jelas merugikan Timor Leste. Sebab Australia mendapat 80 persen dari potensi gas yang masuk wilayah maritim mereka. Hanya 20 persen yang masuk JPDA (Daerah Pertambangan Minyak Bersama). Akibat dieksploitasi secara massif, kata Nelson, persediaan minyak di Celah Timor hampir habis. “Dan lagi-lagi rakyat Timor tak mendapat apa-apa.”

Sedangkan ladang minyak yang ditemukan pada 1975 yang akan dieksploitasi yakni Greater Sunrise, ditaksir nilainya mencapai US $ 40 miliar ini sesuai perjanjian 1989, masuk dalam wilayah maritim Australia.

Kata dia, hal itu jelas merupakan kerugian besar bagi Timor Leste jika Pemerintah Australia ngotot mengokupasi kekayaan alam mereka. Pasalnya ladang minyak Greater Sunrise masih termasuk dalam teritori Timor Leste sesuai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Di mana ladang minyak itu terletak di 140 Km dari batas Timor Leste dan ZEE berada sepanjang 220 mil dari bibir pantai Timor Leste itu. “Kalau Australia masih keras kepala, maka dia nggak berbeda dengan Israel.” (Baca: Sengketa Laut, Mahasiswa Timor Leste Serbu Kedubes Australia di Jakarta)

Artikel ini ditulis oleh: