Jakarta, Aktual.com — Kesadaran tingkat pembayaran pajak di Jawa Timur dirasa masih kurang. Padahal, Kanwil DJP Jatim I, sudah memberikan  keringanan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 29/PMK.03/2015 tentang penghapusan sanksi administrasi bunga yang terbit, serta PMK nomor 91/PMK.03/2015 tentang pengurangan atau penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan pajak.

Namun, kenyataannya tingkat kesadaran masyarakat masih kurang. terbukti, Jawa timur sendiri menempati peringkat ke enam dalam perolehan target penerimaan pajak.

Kepala Kantor DJP Jatim 1, Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa tahun 2015 merupakan tahun wajib pajak yang berkahir sampai akhir Desmber. Bagi yang pengemplang pajak, maka tahun 2016 adalah tahun penegakan bagi yang tidak membayar pajak.

“Masyarakat yang berpenghasilan minimal 50 juta pertahun, yang tidak memiliki NPWP, atau yang memiliki NPWP dan tidak aktif membayar, maka akan dipidanakan,” ujarnya saat dikonfirmasi aktual di Surabaya, Selasa (29/12).

Sanksinya, mulai dari penyandraan hingga pengambilan aset, termasuk pencekalan visa ke luar negeri. Tidak hanya itu, sanksi pidananya juga sangat memberatkan dengan ancaman 6 tahun penjara ditambah denda 4 kali lipat dari nilai denda.

Pengamat Kebijakan Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Wasiatur Rahma, menjelaskan, sebenarnya pemerintah sudah bekerja keras mensosialisasikan. Namun masyarakat sendiri yang tingkat kesadaran membayar pajak masih kuruang.

“Dampaknya, penerimaan pajak tidak melampaui target, maka pendapatan modal negara akan berkurang, dan pembangunan infrastruktur juga tidak bisa maksimal. Banyak pengusaha yang tidak mau membayar pajak. Inikan tidak adil. Padahal, pajak ini kekuatan terbesar mengingat dari sektor migas tidak mencukupi.” ujarnya.

Sementara rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, dikarenakan masyarakat tidak tahu hasil dari pembayaran pajak tersebut.
Pengamat sosial budaya, Universitas Airlangga, Bagong Suwandi, membandingkan dengan negara lain. Jika di luar negeri,  pemerintahnya memberikan transparan kepada masyarakat, bentuk apa yang sudah dibangun dari hasil pembayaran pajak yang sudah dirasakan masyarakat.

“Teori pendapatan, bahwa orang akan memberikan atau mengorbankan sesuatu, ketika hasil yang didapatkan begitu nyata dan terasa,” ujar Bagong.

Namun, di Indonesia, lanjut Bagong, tidak ada informasi transparan kepada masyarakat, mana hasil pajak yang sudah diberikan kepada masyarakat.

Sementara seorang motivator, Johan Yan, mengatakan jika Stigma yang timbul di masyarakat, wajib pajak adalah momok bagi semuanya. Oleh sebab itu, sebutan  wajib pajak harus dirubah sebagai donatur negara, agar para wajib pajak merasa lebih terhormat ketika membayar kewajibannya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka