Jakarta, Aktual.com — Pemadaman listrik bergilir yang terjadi di pulau Sumatera telah terjadi hampir tahunan. Investigasi yang dilakukan Masyarakat Peduli Listrik (MPL) sejak 2 April hingga 28 Mei 2016, ditemukan sejumlah faktor penyebab awetnya pemadaman bergilir tersebut.

Salah satu faktornya, yakni kurangnya jumlah pembangkit listrik baik tenaga uap, air dan diesel.

“Pembangkit yang telah selesai dibangun tidak dapat menjadi sumber pasokan karena energi yang dihasilkannya tidak bisa didistribusikan ke gardu-gardu induk (GI) milik PT. PLN (Persero),” ujar Direktur Eksekutif Masyarakat Peduli Listrik (MPL), Tomy Radja, di Jakarta, Senin (30/5).

Ia mengatakan, jikapun GI sudah tersaluri dari pembangkit, ternyata listrik masih juga tidak bisa tersalur ke konsumen, baik itu rumah tangga, perkantoran, sarana perekonomian maupun industri.

Hal ini, menurut dia lantaran kerap timbul persoalan pertanahan dalam kaitan pengadaan tanah untuk alokasi tapak tower sampai pada lahan Right of Way (RoW) atau jalur bebas dibawah saluran transmisi.

Lebih lanjut dia menjelaskan, persoalan hukum yang timbul dari kontrak-kontrak PT PLN dengan pihak lain juga mempengaruhi terjadinya pemadaman di Sumatera.

“Walau jumlahnya tidak signifikan namun tetap saja memberikan efek negatif. Persoalan seperti ini yang mencuat ke publik ditemukan di Nias,” kata dia.

Selain itu, ditemukan juga bahwa ketidaksiapan PT. PLN (Persero) dan rekanannya merealisir rencana pembangunan yang sudah dirancang terkait pendisribusian energi dalam kurun 10 tahun terakhir.

“Ketidak-siapan ini menunjukkan angka merah. Nyaris seluruh perencanaan PT. PLN (Persero) sampai akhir masa jabatan Dirutnya Dahlan Iskan tidak berjalan,” kata dia.

Oleh karena itu, ia berpendapat yang mesti diperhatikan secara khusus oleh jajaran PLN dan pemerintah pusat, adalah mayoritas kepala daerah tidak memiliki semangat yang sama dalam kaitan pembangunan dan pendistribusian energi listrik itu kepada masyarakat di daerah.

“Kami cermati seakan bahwa kepala daerah itu tidak menggubris persoalan pemadaman listrik sebagai bagian dari upaya untuk mendegradasi kesejahteraan rakyatnya,” terangnya.

Dia menambahkan, bupati dan atau wali kota seakan menganggap bahwa upaya pemenuhan hak atas energi rakyatnya hanya menjadi kewajiban dari pemerintah pusat dan PLN.

“Itu bisa dilihat bagaimana wilayah-wilayah di Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Selatan malah melakukan tindakan kontraproduktif terhadap upaya penggapaian hak itu,” bebernya.

Dia juga memuji sikap kejaksaan dan kepolisian yang terlihat sangat paham untuk membantu mewujudkan makna esensi Peraturan Presiden tersebut.

“Karena kedua instansi tersebut sudah bersinergi sehingga pihak lain ikut melakukan hal yang sama seperti pihak TNI. Sayang, tetap saja bupati dan wali kota bersikap tidak peduli,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby