“Multiple multiplexter seperti yang ada sekarang, negara memberikan frekuensi kepada stasiun televisi dan hanya menerima pendapatan berupa pajak. Jika ada TV baru,
maka akan menyewa kepada perusahaan yang sudah mendapatkan frekuensi,” jelas Supratman.

Adapun opsi ketiga yaitu, hybrid multiplexter, artinya jika ada enam frekuensi maka tiga frekuensi akan dikuasai oleh negara (lembaga penyiaran) sementara tiga lainnya akan di lelang ke pihak swasta.

“Menurut saya, pilihan yang paling tepat dalam rangka pasal 33 yaitu menggunakan single multiplexter. Namun, kalaupun tidak bisa single multiplexter, maka yang bisa digunakan adalah hybrid multiplexter. Ini salah satu cara untuk mengurangi monopoli,” papar politisi dapil Sulteng ini.

Lebih lanjut, ia menuturkan dengan adanya pengaturan frekuensi, maka bukan hanya mencegah praktik monopoli, namun disisi lain diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara bukan pajak.

“Kita berharap dengan sumber daya terbatas, negara bisa mendapatkan penerimaan bukan hanya sektor pajak semata,” tandasnya.

Dalam RDPU tersebut, Ketua ATVSI Ishadi menyerahkan draf usulan yang berisi 11 saran atas isu krusial dalam RUU Penyiaran. Diantaranya, pengelolaan frekuensi, pembatasan kepemilikan media, pengaturan isi siaran dari stasiun asing, dan pengaturan siaran iklan. [*Adv]

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu