Jakarta, Aktual.co — Jelang rapat konsultasi yang akan dilakukan antara DPR RI dengan Presiden Jokowi untuk membahas beberapa isu salah satunya terkait dengan terbitnya Perppu tentang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menuai kontroversi.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Margarito Kamis mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk kemudian presiden terbitkan Perppu.
“Perppu itu harus ada kegentingan memaksa yang faktual,” kata Margarito dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pakar hukum tata negara dengan Komisi III DPR RI, Senayan, Rabu (1/4).
Menurut dia, persoalan KPK yang terjadi kemarin menunjukan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak mengatur ikhwal menyediakan kerangka kerja presiden di tengah situasi hukum yang genting, atau mengganggu pelaksanaan fungsi dari lembaga terkait.
“Sementara kita mesti katakan bahwa, Perppu ini dikeluarkan setelah 2 komisioner KPK menyandang status TSK. Betul masih tersisa 2 pimpinan KPK, tapi kita tidak bisa kesampingkan kenyataan bahwa kala itu 2 pimpinan KPK yg tersisa itupun sudah dilaporkan ke Bareskrim,” jelasnya.
“Maka saya berpendapat, keadaan hukum yang tercipta sebagai akibat dari ditetapkannya dua pimpinan KPK sebagai tersangka. Saya berpendapat cukup alasan secara konstitusional untuk menerima Perppu ini ditingkatkan menjadi UU,” ujar Margarito.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin berpandangan lain terhadap keluarnya Perppu itu.
“Kalau dengan mudahnya presiden keluarkan Perppu dan DPR menerimanya, ini ancaman kewenangan bagi DPR sebagai pembuatan UU,” ucap dia.
Dia mengatakan, semakin hari, semakin diperjelas. Standarnya Perppu, harus pakai UU, tidak boleh Perppu dipake untuk menyalahi perundangan, tidak boleh kepentingan politik.
“Kaalau melihat Perppu kepentingan memaksanya, bisa dilihat teks konsederatnya. Bahwa dalam konsederat ini, Perppu ini keluar karena kekosongan KPK, karena mengganggu kinerja korupsi. Terganggunya kinerja lembaga negara, bukan suatu kegentingan memaksa,” seru Irman.
“Seandainya terjadi kosong pimpinan KPK sekalipun pemeberantasan korupsi masih bisa dipegang dua lembaga negara lainnya, yakni kepolisian dan kejaksaan. Jadi kosong ini semua, bukan masuk kegentngan yang bersifar memaksa,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang

















