Jakarta, Aktual.co — Kenaikan harga BBM sebesar Rp2.000/liter bulan lalu oleh Pemerintahan telah menimbulkan penolakan yang masif dari kalangan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Ke daerah mana pun Sang Presiden berkunjung di Indonesia, pasti selalu ada demontrasi yang “menyambut”. Aksi massa terus terjadi hampir dari semua sektor rakyat. Lusa (10/12) ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia akan melakukan aksi mogok yang salah satu isunya juga menolak naiknya harga BBM.
Dari Indonesia Timur malah beberapa waktu lalu telah timbul korban jiwa dari kalangan rakyat yang tengah melakukan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal di sektor energi ini. Seorang “pak ogah” di Kota Makassar yang bernama Arief, dari kalangan berpenghasilan minim yang terdampak paling keras oleh pencabutan subsidi BBM, menjadi martir perjuangan rakyat. Sementara Sang Presiden hanya dapat berkata, “Bukan urusan saya!”. Sungguh sadis.
Lalu kira-kira apa yang menjadi urusan dari Presiden? Bukankah melaksanakan Konstitusi adalah hal tersumpah yang melekat pada dirinya sebagai Negarawan? Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan kebijakan energi nasional yang bertujuan “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Rakyat yang mana? Tentu untuk rakyat kecil seperti almarhum Arief, yang kepada mereka Sila Kelima Pancasila diadakan oleh Proklamator.
Sang Presiden saat ini harus tahu, bahwa dengan kenaikan harga BBM sebesar 30%, pendapatan puluhan juta jiwa kelas buruh tergerus sebesar 40% (maka wajar bila elemen termaju dari kelas ini terus melawan). Apalagi kelas masyarakat yang penghasilannya tidak tetap, dapat mencapai lebih dari 50%. Untuk kalangan kelas menengah mungkin kurang dari 10% dampaknya (maka wajar bila mereka yang paling permisif).
Namun untuk kalangan pejabat, seperti presiden, menteri, dan gubernur, dan kalangan kelas pengusaha lainnya, tentu dampaknya terhadap pendapatan mereka hampir tidak terasa (maka wajar dapat keluar istilah-istilah yang melecehkan rakyat, seperti “tidak produktif”, “malas”, dsb dari mulut mereka).
Berdasarkan Pasal 33, mensubsidi rakyat untuk kebutuhan energi mereka sehari-hari adalah mutlak sifatnya bagi penyelenggara Republik. Jika berani menyerahkan harga energi ke pasar, dengan mencabut subsidi, artinya Pemerintah tidak mengerti esensi Pasal 33.
Dengan terus turunnya harga minyak mentah dunia, terdapat kemungkinan harga BBM saat ini yang sebesar Rp8.500 sudah merupakan harga tanpa subsidi. Hal ini, polemik seputar harga produksi BBM, akan terungkap jika interpelasi parlemen terhadap Pemerintah terealisasi tahun depan. Bila akhirnya ternyata masih terdapat subsidi pada harga BBM, maka Pemerintah dapat selamat dari pemakzulan. Semoga yang terjadi bukan hal yang sebaliknya, dimana akhirnya Pemerintah divonis telah melanggar Pasal 33.
Bagaimanapun, pencabutan subsidi BBM akan menguntungkan pom-pom bensin asing yang sudah bertahun berusaha untuk hidup di Indonesia. Akhirnya, kehendak dari UU Migas 2001 (yang didraft oleh Asing) telah terwujud. Bisnis para korporasi asing terwujud dapat kembali bergairah, karena disparitas harga produk mereka dengan BBM pom Pertamina semakin kecil- sehingga banyak konsumen dari kalangan kelas menengah yang beralih ke pom bensin asing. Inilah semangat dari liberalisasi sektor hilir migas, yang akhirnya dituntaskan di era Pemerintahan sekarang.
Tapi tidak perlu ditanyakan ke Sang Presiden, mengenai apakah kebijakannya ini bertujuan untuk liberalisasi? Untuk menguntungkan pom-pom bensin asing? Karena pasti jawaban Beliau akan tetap: “Bukan urusan saya!”
Ya, mungkin bukan urusan Beliau, tapi sektor migas Indonesia akan tetap menjadi urusan bagi kekuatan asing. Belum selesai masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan pencabutan subsidi BBM, Pemerintah malah berencana melakukan privatisasi terhadap satu-satunya perusahaan migas negara terbesar yang diharapkan dapat menjalankan mandat Pasal 33. Privatisasi, bersama pencabutan subsidi, adalah rumus neoliberal yang sangat ampuh untuk menghancurkan kedaulatan energi nasional.
Ini mungkin yang kira-kira diharapkan Menteri BUMN dengan penunjukan agen McKinsey (konsultan tertua asal Amerika) menjadi salah satu direktur Pertamina: untuk secepatnya menjual saham-sahamnya pada “publik”. Publik yang tak lain adalah para pemain pasar bebas, dari kapitalis terkaya di Dunia hingga lembaga-lembaga investasi asing yang terus disubsidi oleh kebijakan quantitative easing Bank Sentral Amerika.
Kalau sudah begini niat Pemerintah terhadap kedaulatan energi nasional- liberalisasi dan privatisasi, baiknya buang saja Pasal 33 ke tempat sampah. Bukan urusan Dia, kan?
Penulis: Gde Sandra Aktivis LSP.
Artikel ini ditulis oleh: