Menteri ESDM, Ignasius Jonan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani dan bos besar Freeport McMoran, Richard Andkerson (Dadang/Aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahmy Radhi menunggu penjabaran secara rinci dari pemerintah atas kesepakatan perudingan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), karena menurut dia, rugi atau tidaknya posisi Indonesia atas perudingan itu tergantung pada rincian mufakat yang akan dituangkan dalam kontrak yang mengikat.

Adapun perihal yang disepakati dalam negosiasi itu berupa pembangunan smelter, divestasi, perpajakan, dan perpanjangan kontrak.

Meski pemerintah mengklaim penerimaan negara akan lebih baik dari sebelumnya, namun pemerintah tidak berani menyatakan secara gamblang apakah perpajakan nanti menggunakan naildown atau prevailing.

Kemudian terkait pembangunan smelter dan divestasi, dua hal ini belum juga dijabarkan prosesnya dan penentuan nilainya, sehingga dapat dikatakan kesepakatan antara pemerintah dan Freeport baru hanya sebatas seremoni.

“Tanpa pengaturan detail berpotensi menimbulkan konflik baru. Lantaran Freeport akan membuat akal-akalan mirip divestasi zaman Rezim Soeharto, sehingga Freeport tetap pemegang mayoritas saham,” kata dia secara tertulis, Selasa (29/8).

Kemudian dia menilai kalau Pemerintah menggunakan APBN untuk mengambil saham divestasi menjadi 51 persen, niscaya keampuan keuangan negara akan terganggu. Untuk itu dia menyarankan konsorsium maupun Holding BUMN yang saham tersebut.

“Tidak ada alasan untuk meragukan Indonesia sebagai operator Freeport. Alasannya, 98% SDM di Freeport adalah anak-anak bangsa Indonesia, yang nantinya akan tetap bekerja pada saat Indonesia menjadi operator. Kalau masih dibutuhkan expert asing bisa direkrut. Kalau butuh teknolologi bisa dibeli,” pungkasnya.

(Reporter: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka