Taujih Syeikh DR Yudi Latif (kiri) bersama Khodim Zawiyah Arraudhah Al Akh Muhammad Danial Nafis (kanan) saat acara Kajian Spesial Ramadhan di Zawiyah Arraudah, Jalan Tebet Barat VIII, No 50, Jakarta Selatan, Minggu (4/6/2017). Dalam kajian Spesial Ramadhan ini yang bertamakan "Pancasila dalam Tasawuf Islam". AKTUAL/Munzir

Saudaraku, entah sampai kapan pengembaraanku mencapai titik akhir. Bukankah ruang-waktu terus meregang-mengembang.

Betapapun, setiap ujung tahun tak lupa kutancapkan tanda batas. Aku lelah berenang di lautan ruang-waktu tak bertepi. Rasanya perlu ada titik singgah. Tempat menarik batas imajiner antara kenangan dan impian.

Tanpa mengingat kenangan, apalah artinya perjalanan hidup ke depan. Tanpa membayangkan impian, apa artinya jejak perjuangan. Di titik persinggahan antara masa lalu dan masa depan, butir-butir ingatan dan harapan merembes menjadi tetes airmata menandai suka dan duka.

Dalam suka-duka kutemukan makna hidup. Bahwa perjalanan hidup ini memang rangkaian penziarahan ruang-waktu ketidakpastian. Namun, setiap jejak tidaklah sia-sia. Setiap gelap memberi arti pada terang. Setiap lara memberi arti pada bahagia. Setiap papa memberi arti pada kaya. Setiap lemah memberi arti pada kuasa.

Seperti samudera bermula dari tetes. Setiap tegur sapa pulihkan harapan pada kecemasan. Setiap kembang senyum tebarkan gairah pada keputusasaan. Setiap tulus darma bangkitkan daya pada kerentanan.

Entah berapa banyak tapal batas telah kulalui. Karena di sepanjang perlintasan pengembaraan ini, aku telah hidup dan mati berkali-kali. Namun, betapapun jauh jarak perjalanan, dgn penuh debar akan kuarungi rangkaian etape labirin perjalanan hidup satu per satu.

Sambil berkelana dalam ketakterhinggaan, aku gembira mendendangkan syair Jalaluddin Rumi:

Aku mati sebagai mineral dan menjelma sebagai tumbuhan, aku mati sebagai tumbuhan dan lahir kembali sebagai binatang. Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku harus takut?

Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku. Sekali lagi, aku masih harus mati sebagai manusia, dan lahir di alam para malaikat. Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat, aku masih harus mati lagi; Karena, kecuali Tuhan, tidak ada sesuatu yg kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat, aku masih akan menjelma lagi dalam bentuk yang tak kupahami. Ah, biarkan diriku lenyap, memasuki kekosongan, kasunyatan. Karena hanya dalam kasunyatan itu terdengar nyanyian mulia; “Kepada-Nya, kita semua akan kembali.”

(Yudi Latif)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan