Jakarta, Aktual.com – Badan Legislasi (Baleg) DPR menyayangkan sikap Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, yang mau membawa RUU Penyaiaran ke Rapat Paripurna DPR. Pasalnya, menurut Baleg RUU Penyiaran yang telah dibahas di Komisi I DPR akan menciptakan pergeseran baru terkait monopoli industri pertelevisian yang selama ini didominasi perusahaan swasta, menjadi monopoli oleh pemerintah.
Langkah pimpinan DPR ini pun akan melanggar dua UU dan Peraturan Tata Tertib DPR. Padahal setiap RUU sebelum diboyong ke Rapat Paripurna harus melalui Sidang Pleno di Baleg DPR.
“Jadi setelah pembahasan di Komisi I DPR, Bamus (Badan Musyawarah) DPR memutuskan agar RUU Penyiaran bisa dibawa ke Sidang Paripurna, tanpa harus melewati Sidang Pleno di Baleg DPR. Ini justru akan menjadi preseden buruk bagi DPR sebagai lembaga pembuat UU. Proses politik di sini tidak boleh menabrak UU,” tegas Ketua Baleg DPR, Firman Subagyo di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/2).
Dia menegaskan, dengan sikap pimpinan DPR itu yang akan memboyong ke Sidang Paripurna DPR pada 13 Februari nanti telah melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 17 Tahun 2014. “Juga menabrak Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2017,” kritik dia.
Apalagi secara substansi, kata dia, pada draf RUU Penyiaran tersebut ternyata akan memerintahkan beberapa perusahaan swasta di industri pertelevisian untuk menyerahkan sebagian frekuensinya kepada pemerintah, sehingga nantinya swasta hanya bisa memiliki satu frekuensi.
“Frekuensi milik swasta yang akan dikembalikan ke pemerintah tujuannya agar tidak terjadi monopoli di swasta. Tetapi masalahnya, kondisi tersebut justru akan menggeser bentuk monopoli yang akan dilakukan pemerintah melalui UU Penyiaran,” kata Firman.
Lebih lanjut Firman menjelaskan, konsep bisnis di draf RUU Penyiaran yang akan memicu praktik monopoli pemerintah di industri pertelevisian, karena ada penerapan konsep single mux operator dan penetapan satu penyelenggara penyiaran multipleksing digital.
“Keinginan Komisi I melalui RUU Penyiaran itu adalah mengarahkan kepada konsep single mux operator yang pada akhirnya membentuk lembaga penyiaran baru oleh pemerintah. Padahal, posisi swasta existing sudah berjalan sesuai prosedur kepemilikan frekuensi,” papar dia. (ADV)
Busthomi
Artikel ini ditulis oleh: