Jakarta, Aktual.com – Proyek reklamasi Teluk Jakarta harus mempertimbangkan dampak sosial. Bukan hanya dampak yang dialami masyarakat sekitar pesisir Teluk Jakarta saja.
Dampak sosial proyek reklamasi tidak sesederhana hanya melihat KTP yang dimiliki warga pesisir Teluk Jakarta. Nelayan-nelayan yang datang dari luar dan tidak memiliki KTP Jakarta secara sosial juga tetap dihitung jika terkena dampak dari proyek reklamasi ataupun Giant Sea Wall (GSW).
Pendapat itu disampaikan Dr.-Ing.Widodo Setiyo Pranowo, M.Si, Kepala Bidang Pelayanan Teknis Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
“Masalah sosial tidak melihat KTP. Karena di situ (Teluk Jakarta) sebagai kawasan strategis nasional. Jadi yang bermain tidak hanya penduduk yang tinggal di sekitar situ. Banyak juga nelayan dari Tangerang yang mencari ikan di situ. Atau misalnya yang jualan kerang di kawasan Tangerang juga mencari dari Teluk Jakarta juga. Kemudian, pelaku bisnis (reklamasi) juga bukan asli penduduk situ tentunya,” kata kata peraih gelar Magister Sains (M.Si) untuk Oseanography and Atmospheric Science dari ITB Bandung itu, saat ditemui Aktual.com, beberapa waktu lalu.
Dampak sosial, ujar dia, baru satu dampak yang rawan muncul. Widodo juga menyoroti soal kabel laut yang terpendam di Teluk Jakarta yang link-nya sampai ke Singapura. Kata dia, kalau itu salah satunya putus akibat salah desain di proyek reklamasi, yang terdampak bisa sampai ke Australia ke bawah.
“Karena kabel optik di situ menghubungkan bumi selatan ke utara. Meski jaringan komunikasi bukan hanya kabel optik tapi juga dari satelit, tapi kalau salah satu terputus ya timpang juga,” ujar dia.
Dari contoh itu, itu kata Widodo, bisa dilihat kalau dampak dari proyek reklamasi dan GSW bisa luas dan tidak hanya bicara soal Jakarta saja. “Lagipula memang sudah seharusnya kalau mau bikin reklamasi dan GSW harus dipikirkan juga kawasan strategis lainnya,” ucap dia.
Diingatkan dia, salah seorang peneliti dari UGM, Yogyakarta, Profesor Agus maryono sudah pernah mengeluarkan pendapat atas dampak sebuah proyek dari aspek konflik sosial. Tutur Widodo, Agus mengatakan jika di suatu lokasi yang bakal terkena proyek ada 25 persen yang kontra (tidak setuju), itu dianggap terlalu besar dan lebih baik proyek dibatalkan.
“Amannya sekitar kurang dari 10 persen yang kontra. Hitungannya dari jumlah yang terdampak,” ucap pria yang menempuh S3 di Bremen University, Jerman di tahun 2010 itu.
Artikel ini ditulis oleh: