Anggota DPR RI, Bambang Soesatyo. Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Koreksi terhadap segala sesuatu yang salah atau menyimpang sepatutnya dipahami sebagai keniscayaan. Sejarah peradaban telah memberi bukti bahwa pada waktu yang tidak pernah diperkirakan, koreksi akan menemukan prosesnya melalui kebijakan, langkah, atau cara.

Demikianlah yang disaksikan oleh semua elemen masyarakat Indonesia ketika dinamika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hari-hari ini terus mengaktualisasikan langkah-langkah korektif di sektor tata kelola keuangan negara dan daerah.

Sebagaimana telah disimak bersama, Presiden Prabowo menugaskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memulai rangkaian koreksi tersebut. Awalnya, Menkeu berfokus pada koreksi tata kelola keuangan negara dan daerah. Namun, di luar perkiraan, Menkeu juga mengungkap beberapa faktor lain yang merusak perekonomian, misalnya maraknya penyelundupan berbagai produk manufaktur.

KKN dan Pengendapan Dana Pemda Hambat Efektivitas Anggaran

Bagi masyarakat kebanyakan, sangat wajar jika awal koreksi berfokus pada aspek tata kelola keuangan negara-daerah. Bukankah hari-hari ini korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sedang marak? Korupsi yang telah menyebabkan kerugian negara hingga ribuan triliun rupiah menjadi contoh nyata sekaligus penjelasan gamblang tentang rendahnya efektivitas tata kelola keuangan negara-daerah.

Selain faktor korupsi yang per kasus nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah, perlu pula diungkap endapan dana pemerintah daerah (Pemda) di perbankan. Data ini layak disorot untuk menggambarkan rendahnya efektivitas pengelolaan anggaran.

Bayangkan, ketika Presiden menargetkan efisiensi anggaran tahun 2025 sebesar Rp306,9 triliun, total dana milik Pemda yang mengendap di perbankan per Agustus 2025 mencapai Rp233,11 triliun.

Sebagai fakta tidak produktif, pengendapan dana Pemda di bank telah berlangsung bertahun-tahun dan sering dipertanyakan. Tahun 2023, jumlah dana Pemda di perbankan mencapai Rp203,42 triliun, dan tahun 2024 tercatat Rp192,57 triliun. Tujuan pengendapan dana oleh Pemda tak pernah dijelaskan dan sulit dipahami secara rasional.

Maka, efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Presiden, termasuk koreksi atas dana bagi hasil (DBH) ke daerah, menjadi langkah yang masuk akal.

Sudah barang tentu sejumlah pihak merasa terganggu oleh kebijakan efisiensi dan koreksi yang dimulai pemerintah. Namun, kehendak baik dan keberanian melakukan koreksi itu patut didukung, diperkuat, diawasi bersama, serta dijaga konsistensinya.

Semua berharap hasil terbaik bagi rakyat dan negara. Kalaupun perlu diingatkan, tentu tentang pentingnya menerapkan asas kehati-hatian (prudence), agar rangkaian koreksi tersebut tetap kalkulatif dan kredibel, sehingga tidak menimbulkan guncangan pada perekonomian nasional.

Efektivitas dan hasil koreksi tentu butuh proses dan waktu. Namun, sebagai terapi kejut (shock therapy), langkah-langkah korektif seperti sekarang ini sangat diperlukan, sebab efektivitas tata kelola keuangan negara-daerah memang masih rendah.