Jakarta, Aktual.com — Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI yang dicetuskan pemerintahan SBY untuk menjadi pola induk perencanaan ambisius pemerintah Indonesia, hingga kini masih menyisakan persoalan karena dianggap melanggar hak-hak warga setempat yang terdampak.
“Dulu MP3EI ini kan bahasa ramahnya, aslinya kan perluasan modal. Menciptakan ruang-ruang ekonomi baru untuk mengatasi kolapsnya kapitalisme global, para korporat masuk ke negeri ini melalui rupa-rupa bentuk proyek yang dibungkus dalam isu pembangunan,” ungkap Kus Sri Antoro, peneliti dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), kepada Aktual.com, Sabtu (7/5).
Kus menilai, Rencana Pembangunan jangka panjang ini tidak terlepas dari kepentingan para pemodal, baik dalam skala lokal maupun global. Salah satunya adalah megaproyek New Yogyakarta International Airport yang dibangun diatas lahan warga seluas kurang lebih 650 hektar di enam desa di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.
Menurut data paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT), ada 1000 Kepala Keluarga atau sekitar 5000 jiwa, pemukiman, sawah maupun ladang yang terancam tergusur akibat pembangunan megaproyek transportasi udara ini.
Megaproyek Bandara Internasional ini pada mulanya berangkat dari MoU berbentuk perusahaan patungan atau ‘Joint Venture Company’ antara Angkasa Pura I (Persero) dengan Investor asal India GVK Power & Infrastructure tertanggal 25 Januari 2011 di India. Masing-masing pihak memiliki hak atas kepemilikan saham dan pembangunan bandara senilai US$ 500 Juta.
“Anggaran Bandara Kulonprogo itu sendiri Rp8 triliun, sedangkan APBD DIY untuk pembangunan infrastruktur cuma sekitar Rp3 triliun, ya nggak sanggup. Makanya pemerintah undang GVK, investor asal India untuk investasi disini,” ujar Kus.
Pasca peralihan pemerintahan nasional dari SBY ke Jokowi, konsep MP3EI hanya berganti judul dengan melakukan penyesuaian pada skema pembangunan yang diusung oleh pemerintahan Jokowi-JK. Akan tetapi, proyek pembangunan Bandara Kulonprogo sudah tidak lagi masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 Kabinet Jokowi-JK.
Terlebih, sesungguhnya dalam PP No 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional, tidak pernah menyebut adanya rencana pembangunan bandara baru di DIY, hanya sebatas pengintegrasian Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dengan Bandara Adi Soemarmo Solo. Inilah yang kemudian makin memperumit persoalan.
Kritik terhadap megaproyek Bandara Kulon Progo juga dilontarkan Emmy Yuniarti Rusady, peneliti PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan. Dia melihat bahwa di Indonesia memang kerap terjadi ketidaksinkronan antara Rencana Jangka Panjang Nasional Provinsi hingga tingkat Kabupaten/Kota, pasca beralihnya kelompok kekuasaan ke kelompok berikutnya.
Ketidakcocokan visi misi antara Presiden, Gubernur, Bupati ini menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat sebagai golongan yang kerap terlanggar haknya, baik atas tanah maupun terdampak secara ekologis.
“Proyek Bandara Kulonprogo dipaksakan dalam RTRW itu memang terjadi,” ujar Emmy.
Dijelaskan, di beberapa negara yang juga menerapkan konsep pembangunan dengan melakukan penggenjotan infrastruktur demi meningkatkan laju ekonomi, lama kelamaan akan sampai juga pada titik kolaps. Yang akan terjadi pertama kali adalah permasalahan sosial, kemudian cagar budaya lalu lingkungan hidup.
“Pada beberapa case, pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan, tapi di lain case ada juga RTRW-nya sudah final lalu baru muncul proyeknya sehingga dipaksakan. Nah itu yang masalah,” tambah dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis