Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Ada satu kegelisahan yang kerap disampaikan Cak Nun dalam berbagai forum kebudayaan dan kebangsaan:
“Bangsa ini kok tidak mengalami pembusukan, padahal sistem politik dan ketatanegaraannya salah kaprah?”

Pertanyaan itu terasa paradoksal. Sebab hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang hukum yang tumpul ke atas, politik yang transaksional, ekonomi yang timpang, dan kebijakan publik yang sering menjauh dari rasa keadilan. Namun anehnya, di tengah salah kaprah sistemik itu, bangsa ini tetap berjalan seperti biasa—seolah kerusakan tersebut sudah menjadi latar belakang yang diterima, bukan anomali yang harus segera diperbaiki.

Salah satu jawabannya mungkin terletak pada cara cerita kebusukan negara ini diproduksi, diperbanyak, dan diedarkan.

Hari ini, narasi kerusakan Indonesia tidak hanya hadir sebagai kritik, tetapi diamplifikasi secara masif oleh media nasional—baik media cetak maupun media online—serta oleh industri konten digital. Judul-judul sensasional, potongan konflik, dan kabar kegagalan sistemik menjadi menu utama yang terus diulang. Media sosial dan platform video bahkan menjadikannya tontonan harian.

Masalahnya bukan pada kritik itu sendiri. Kritik adalah bagian sehat dari demokrasi. Masalah muncul ketika kerusakan negara berubah menjadi komoditas.

Dalam logika industri media dan konten digital, cerita tentang kegagalan, skandal, dan kebusukan sistem lebih menjual. Ia mendatangkan klik, viewer, subscriber, rating, dan pada akhirnya keuntungan ekonomi. Semakin rusak ceritanya, semakin tinggi atensi publik. Semakin gaduh narasinya, semakin besar lalu lintas iklan yang mengalir.

Di titik ini, batas antara kepedulian dan eksploitasi menjadi kabur.

Sebagian media dan kreator konten tidak lagi sekadar melaporkan kerusakan, tetapi hidup dari kerusakan itu sendiri. Negara yang bermasalah menjadi “ladang konten” yang tidak pernah kering. Solusi tidak terlalu menarik, karena solusi berarti akhir cerita. Sedangkan masalah yang terus dipelihara menjamin keberlanjutan atensi.

Akibatnya, publik dijejali cerita tentang kebusukan negara, tetapi jarang diajak memahami akar masalah, apalagi mempelajari jalan keluar. Diskursus publik menjadi timpang: kritik berlimpah, solusi nyaris tenggelam. Pendidikan kenegarawanan kalah pamor dibandingkan drama politik. Gagasan pembenahan sistem kalah klik dibandingkan konflik elite.

Di sinilah pertanyaan Cak Nun menemukan makna yang lebih dalam. Mungkin bangsa ini tidak “membusuk” secara total bukan karena sistemnya sehat, melainkan karena pembusukan itu telah dinormalisasi dan dinikmati. Bau kerusakan sudah menjadi aroma keseharian. Bahkan, bagi sebagian pihak, bau itu justru mendatangkan keuntungan.

Lebih berbahaya lagi, kondisi ini berisiko membentuk mental kolektif yang pasrah: rakyat terbiasa marah, terbiasa kecewa, tetapi tidak terbiasa belajar dan membangun solusi. Ketika ada inisiatif yang menawarkan jalan keluar—pendidikan kenegarawanan, pemikiran nilai, atau upaya politik yang mencoba keluar dari pola lama—responsnya sering dingin, sinis, atau dicurigai.

Padahal bangsa tidak akan pulih hanya dengan menonton kerusakannya sendiri berulang-ulang.

Jika media dan kreator konten benar-benar ingin berperan sebagai pilar demokrasi, maka tugasnya bukan hanya memperbesar suara kebusukan, tetapi menyeimbangkannya dengan kerja intelektual: menjelaskan, mendidik, dan membuka ruang bagi solusi. Tanpa itu, kita berisiko terjebak dalam paradoks: negara rusak, tetapi terlalu banyak pihak yang justru diuntungkan oleh kerusakan tersebut.

Pertanyaannya kini kembali ke kita semua—media, kreator, dan warga negara:
apakah kita ingin terus menjadikan kerusakan Indonesia sebagai tontonan yang menguntungkan, atau mulai menjadikannya pelajaran kolektif untuk penyembuhan bersama?

Karena bangsa tidak runtuh oleh kritik, tetapi bisa mandek jika kritik hanya berhenti sebagai komoditas.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain