Saudaraku, hanya orang yang berjiwa Indonesia yang bisa membangun Indonesia.
Bukan sekadar orang sini, lahir dan cari makan di sini, tapi jiwanya harus benar-benar berumah di sini; memahami hakikat keindonesiaan, menghayati susana kebatinan, kepedihan dan pengharapan bangsa ini.
Selama ini yang semarak berkembang hanya “pembangunan di Indonesia”. Pelakunya bisa saja bukan orang Indonesia atau tidak berjiwa Indonesia. Hasilnya adalah pembangunan yang menyingkirkan dan mengasingkan bangsa sendiri.
Yang harus giat kita kembangkan adalah “pembangunan Indonesia”. Pembangunan dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia dengan mengolah segenap potensi Indonesia dengan sepenuh jiwa-raga Indonesia.
Dalam pembangunan Indonesia, yang dipedulikan bukan hanya pertumbuhan material, tetapi juga perkembangan kejiwaan. Bukan hanya infrastruktur “keras” (sarana fisik), tapi juga infrastruktur “lunak” (keadaban, pendidikan, kesehatan).
Pembangunan pada hakekatnya usaha berkemajuan dalam mutu peradaban dengan cara meningkatkan kualitas hidup. Kualitas hidup ditinggikan melalui pemajuan kapabilitas dalam tata nilai (mental-kultural), tata kelola (institusional-politikal), dan tata-sejahtera (material-teknologikal).
Tata nilai mengolah kekuatan jiwa budaya kewargaan yang inklusif. Tata sejahtera mengolah kemakmuran material yang inklusif. Tata kelola menjadi enabler, penyokong pembangunan rohani dan jasmani, melalui praksis politik yang inklusif.
Bila saat ini kehidupan negeri diliputi kabut pesimisme; banyak gerak-gerik tanpa gerak kemajuan berarti ; penuh reka-citra tanpa ampuh pecah-masalah; rasa saling percaya pudar; hukum disalahgunakan; kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan; sebab utamanya karena kita mengalami kelemahan dalam tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera.
Tanpa nilai, gerak laju tanpa arah. Tanpa sejahtera, gerak laju lemah daya. Tanpa tepat pengelolaan, gerak laju tak karuan. Pembangunan Indonesia harus bisa memperkuat jiwa-raga Indonesia sedalam samudera nilai, seluas kepulauan sejahtera, setinggi surya pelayanan.
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin