Sejumlah petugas Dinas Tata Air DKI Jakarta berjibaku menutup tanggul yang jebol Kali Sunter yang berada di belakang Perumahan Cipinang Indah, Jakarta Timur, Selasa (21/2/2017). Tembok yang juga menjadi tanggul Kali Sunter di kawasan Cipinang Indah jebol akibat tak mampu menahan besarnya debit air yang melintas. Hasilnya, kawasan Jakarta Timur terendam banjir. AKTUAL/Munzir
Sejumlah petugas Dinas Tata Air DKI Jakarta berjibaku menutup tanggul yang jebol Kali Sunter yang berada di belakang Perumahan Cipinang Indah, Jakarta Timur, Selasa (21/2/2017). Tembok yang juga menjadi tanggul Kali Sunter di kawasan Cipinang Indah jebol akibat tak mampu menahan besarnya debit air yang melintas. Hasilnya, kawasan Jakarta Timur terendam banjir. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Hujan yang mengguyur deras sejak Selasa (21/2) dini hari membuat beberapa wilayah Jakarta terserang banjir. Tercatat, terdapat 54 titik banjir yang menggenangi ribuan rumah di seluruh wilayah Jakarta.

Kondisi ini dinilai oleh Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, sebagai realita masih buruknya sistem drainase di Jakarta. Menurutnya sistem drainase di Jakarta masih abu-abu alias belum jelas.

“Betul drainase kita memang belum jelas sistemnya. Dan diperparah dengan betonisasi sungai-sungai,” kata Marthin kepada Aktual dalam pesan singkatnya, Selasa (21/2).

Bagi Marthin, betonisasi sebagai akibat dari normalisasi sungai justru memperburuk drainase di wilayah Jakarta. Hal ini karena betonisasi akan mengurangi daya serap tanah terhadap air.

Sebagaimana diketahui, normalisasi sungai di Jakarta akan dilakukan sepanjang 19 km sungai Jakarta.

“Akibatnya water run-off ke sungai sangat tinggi dan langsung dialirkan ke sungai yang dibetonisasi,” ucapnya.

Akan Memburuk Akibat Reklamasi

Kondisi Jakarta yang masih terserang banjir pun dinilai Marthin akan semakin memburuk dengan pelaksanaan Mega proyek reklamasi Teluk Jakarta. Pembangunan 17 pulau buatan di kawasan Utara pantai Jakarta disebutnya akan menghambat air dan berujung pada penumpukan air di hilir.

“Sangat jelas ada hubungannya. Intensitas banjir semakin meningkat karena (air) di hilir terhambat baik oleh pulau-pulau maupun sedimentasi yang memperburuk,” jelas Marthin.

Dampak reklamasi ini pun, lanjut Marthin, sudah pernah dikaji oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 2012 lalu. Hasil kajian ini menyebutkan bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan memperburuk banjir di Jakarta.

“Kajian yang pernah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hiduo dengan konsultan asal Denmark, DHI tahun 2012, menyatakan (reklamasi) akan menimbulkan hinterland flood,” ungkap Marthin.

Hinterland flood merupakan limpasan air akibat tidak mengalirnya air sungai ke laut karena terhambat. Limpasan air ini pun pada akhirnya dapat membuat intensitas banjir di daratan Jakarta semakin tinggi.

Marthin pun menganggap bahwa secara teknis reklamasi Teluk Jakarta dapat menanggulangi banjir adalah sebuah kebohongan publik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkaitan dengan mega proyek ini. Ia pun secara tegas menyatakan bahwa proyek ini harus dihentikan karena justru akan memperburuk banjir yang ada di Jakarta.

“Malah sebaliknya, reklamasi akan meningkatkan ancaman banjir yang terjadi. Sehingga sangat jelas harus dihentikan proyek reklamasi,” tegasnya.

Laporan: Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid