Jakarta, Aktual.com – Pertumbuhan ekonomi yang melambat membuat Bank Sentral China memutuskan untuk kembali menurunkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 4,85 persen.
Tak hanya itu, People’s Bank of China (PBOC) juga menyatakan terkait pemangkasan bunga acuan simpanan 25 basis poin menjadi dua persen. Demikian seperti dilansir Aktual dari laman Wall Street Journal, Senin (29/6).
Ini merupakan penurunan ke-empat sejak November 2014 silam. Penurunan suku bunga acuan ini dilakukan pasca pasar saham Tiongkok turun hingga 20 persen dalam dua pekan terakhir. Langkah tersebut juga bertujuan untuk membuat bunga kredit murah hingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
PBOC juga melonggarkan rasio kewajiban penyimpanan cadangan devisa (RRR) sebesar 50 basis poin. Pelonggaran ini berlaku untuk perbankan yang melayani kredit sektor perkebunan dan usaha kecil menengah.
“Pemangkasan suku bunga dan RRR akan membantu stabilisasi pertumbuhan, menyesuaikan struktur dan menurunkan ongkos pembiayaan sosial,” ungkap PBOC seperti dikutip Reuters, Senin (29/6).
PBOC menegaskan akan menjaga implementasi kebijakan moneter yang berhati-hati, menggunakan berbagai kebijakan untuk memperkuat dan meningkatkan manajemen makroprudensial, serta melakukan optimalisasi kombinasi kebijakan demi kemajuan perekonomian.
Tercatat, PBOC juga sempat memangkas suku bunga acuannya pada 10 Mei 2015 lalu. Suku bunga pinjaman diturunkan 25 basis poin menjadi 5,1%, begitu pula dengan suku bunga deposito yang dilonggarkan dengan dosis sama menjadi 2,25%.
Sebulan sebelumnya, tepatnya 19 April 2015, bank sentral China juga menurunkan rasio kewajiban cadangan untuk semua bank komersial sebesar 100 basis poin. Pemangkasan ini mengikuti penurunan RRR pada Februari 2015 sebesar 50 bps.
Pelonggaran RRR akan menghasilkan tambahan likuiditas melalui suplai uang ke pasar. Namun, pemangkasan RRR pada sektor tertentu seperti yang dilakukan kali ini, takkan menghasilkan efek serupa.
Demi memacu kredit pada sektor-sektor tertentu, bank sentral beberapa kali menerapkan pemangkasan khusus, namun langkah tersebut tak berdampak signifikan pada tataran makro. Lantaran, kendati diberikan insentif pelonggaran, perbankan tetap saja enggan memberi kredit pada sektor itu karena faktor jaminan dan risiko.
Terlepas dari upaya pemangkasan yang terus menerus, ongkos pinjaman riil di China sebenarnya masih tinggi. Hal itu dipicu oleh melemahnya inflasi dan sikap bank yang enggan menurunkan suku bunganya.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu ini diprediksikan terkontraksi ke level 7% (terendah dalam seperempat abad) tahun ini, melemah dari pertumbuhan 2014 yakni 7,4%. Perlambatan itu dipicu lesunya pasar properti, kapasitas pabrik berlebihan, dan utang pemerintah lokal. Stimulus tambahan sekalipun diyakini takkan mampu menggenjot pertumbuhan China.
Otoritas moneter setempat diprediksikan akan kembali memangkas suku bunga acuannya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya.
Artikel ini ditulis oleh: