Jakarta, Aktual.com – Aroma manuver politik kian menyengat dari Jawa Tengah. Tiga eks kader senior PDI Perjuangan—Ginda Ferachtriawan, Dyah Retno Pratiwi, dan Wawanto—memutuskan angkat kaki dari “kandang banteng” dan resmi berlabuh ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Keputusan ini tak hanya mengagetkan publik, tapi juga memicu pertanyaan: apakah ini sekadar perpindahan kader atau tanda retaknya dominasi PDIP di basis terkuatnya?
Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, memilih merespons dingin dan tanpa nada emosi. “Kalau kemudian seseorang, atau tiga orang, atau berapa pun jumlahnya sudah tidak berkeinginan untuk ada di PDI Perjuangan, monggo saja,” ujarnya di Senayan, Jakarta, Senin (11/8). Jawaban singkat ini terdengar ringan, namun di telinga para pengamat, terselip pesan politik: PDIP tak akan memburu mereka yang memilih jalan berbeda.
Langkah ini menjadi sorotan lantaran ketiga eks kader tersebut memiliki rekam jejak politik di Solo dan Jawa Tengah yang erat dengan PDIP. Bahkan, Wawanto merupakan mantan anggota DPRD Solo. Kini, mereka berada di bawah komando Ketua DPW PSI Jawa Tengah, Antonius Yogo Prabowo, yang mengklaim bahwa keputusan bergabung diambil karena PSI dinilai memiliki kesamaan visi dan arah perjuangan politik.
Kepindahan ini tak bisa dilepaskan dari dinamika politik Jateng. Selama dua dekade terakhir, wilayah ini dianggap “tanah merah” yang sulit ditembus partai lain. Namun, masuknya PSI—partai yang identik dengan kaum muda dan manuver media—dapat menjadi ujian serius bagi PDIP, terutama menjelang Pilkada 2024 dan Pemilu 2029.
Pengamat politik menilai, PSI berpotensi menggunakan wajah-wajah eks PDIP ini untuk mengikis dominasi banteng dari dalam. “Ini bukan sekadar soal pindah partai. Mereka membawa jejaring, simpatisan, dan sebagian basis suara. Kalau dikelola dengan benar, ini bisa menjadi pintu masuk PSI di kantong suara PDIP,” ujar salah satu analis yang enggan disebut namanya.
Di sisi lain, PDIP disebut sedang menghadapi tantangan menjaga soliditas kader di tengah derasnya arus politik transaksional. Pergeseran loyalitas kader dianggap sebagai efek dari dinamika politik nasional yang semakin cair pasca Pemilu 2024. Jika gelombang ini berlanjut, bukan tidak mungkin “retakan kecil” di Jateng akan melebar menjadi celah besar yang dimanfaatkan lawan politik.
Kini, publik menanti langkah lanjutan kedua partai. Apakah PSI akan mengkapitalisasi momentum ini untuk mengukir pijakan di Jateng, atau PDIP akan mengerahkan kekuatan penuh menutup celah perpecahan? Yang jelas, lonceng peringatan sudah berbunyi di kandang banteng, dan politik Jawa Tengah tidak akan lagi sama.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















