Jakarta, Aktual.com – Perdebatan mengenai risiko kesehatan produk tembakau kembali mencuat akhir-akhir ini, terutama ketika adanya wacana penyamaan produk tembakau dengan narkotika dalam RUU Omnibus Kesehatan.
Menurut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Yahya Zaini, penyamaan itu tidak tepat, bahkan produk tembakau mestinya diatur terperinci sesuai dengan risikonya (11/5).
Penelitian mengenai risiko produk alternatif tembakau pernah dilakukan di Indonesia, salah satunya oleh Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung, Amaliya.
Ia menjelaskan bahwa produk tembakau beragam, dan masing-masing mempunyai risiko yang berbeda-beda. Rokok elektrik dan rokok konvensional misalnya. Menurut Amaliya, keduanya punya risiko kesehatan yang tidak sama.
“Aerosol/uap yang dihasilkan vape atau rokok elektrik mengandung sedikit sekali (zat berbahaya dan karsinogen), bisa dikatakan kadarnya tidak bermakna,” kata Amaliya, Dosen FKG UNPAD pada acara daring Wednesday about Research & Innovation in the Graduate School Universitas Padajajaran dikutip, Rabu (24/5).
Selain itu, cara konsumsi produk alternatif berbeda karena tidak dibakar, sehingga risikonya bisa ditekan karena tidak menghasilkan residu hasil pembakaran (TAR) yang berbahaya bagi tubuh. Menurut Amaliya, komponen TAR tidak ditemukan pada produk alternatif tembakau.
“Pembakaran dari rokok dapat mencapai lebih dari 800 derajat selsius. Yang terdapat dalam produk tembakau dipanaskan dan vape hanya pemanasan, tidak ada asap. Rokok yang dibakar tentu mengeluarkan lebih banyak zat toxic (beracun) dan penyebab kanker (karsinogen),” ujar Amaliya dalam acara yang sama.
Berhasil Tekan Perokok di Berbagai Negara
Fakta bahwa produk alternatif dapat mengurangi jumlah perokok telah terjadi di beberapa negara, seperti Inggris dan Swedia.
Di Swedia bahkan angka perokoknya hampir berada di angka 5 persen, padahal negara ini memiliki 13 persen perokok dewasa pada 2010. Menurut mantan ketua World Medical Association (WMA) Anders Milton, penurunan ini didukung oleh pemerintah yang mendukung produk tembakau alternatif seperti vape dan kantong nikotin.
“Swedia sudah memakai snus bertahun-tahun. Produk snus sudah bagian dari tradisi dan bukanlah penyebab kanker, makanya angka perokok kami menurun drastis. Perokok merokok karena mereka suka, jadi tidak semudah itu untuk berhenti. Oleh karena itu produk alternatif diperlukan. Dengan pemakaian produk alternatif, angka penderita kanker paru-paru Swedia menjadi yang terendah di Eropa,” kata Milton pada forum Pan American Harm Reduction Association (PAHRA).
Melihat keberhasilan tersebut, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Jakarta, Laifa Annisa, memberikan contoh lain di Belanda. Di negara tersebut, pemerintah mempunyai program yang terstruktur untuk mengurangi angka perokok dewasa dengan produk alternatif tembakau.
“Saya tahu di Belanda mereka punya klinik untuk mengatasi kecanduan, salah satunya untuk rokok. Jadi memang ada klinik khusus smoking cessation yang terprogram. Beberapa menggunakan produk alternatif (sebagai instrumennya),” kata Laifa ketika dikonfirmasi.
Pengalaman dari Eropa membuktikan bahwa produk alternatif tembakau dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi angka perokok.
Peraturan yang terpisah serta berbasis risiko adalah kunci untuk memanfaatkan potensi dari produk alternatif tembakau. Hal ini yang perlu jadi catatan untuk Indonesia bila ingin meniru kesuksesan Eropa.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu