Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi dan politik senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyoroti kebijakan dari pemerintah yang menggenjot pembangunan infrastruktur.

Proyek-proyek infrastruktur sendiri tak masalah. Cuma yang jadi perhatiannya adalah banyak surat utang yang diterbitkan pemerintah tersebut. Karena selain membebani pemerintah, ke depannya juga menggerus simpanan di dunia perbankan. Orang banyak lari beli Surat Utang Negara (SUN).

“Jadi, upaya pemerintah dalam mencari dana untuk menggenjot pembangunan infrastruktur itu, tidak disadari telah menekan pertumbuhan industri perbankan. Ini yang tak disadari oleh pemerintah,” tandas Faisal di acara diskusi perbankan, di Balai Sudirman, Jakarta, Senin (5/12).

Selama ini, kata Faisal, peran pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Cuma 10 persen kontribusinya ke Produk Domestik Bruto (PDB). Makanya, pemeribtah memperbanyak pembiayaan untuk proyek infrastruktur melalui lelang SUN.

“Tapi dengan masifnya penerbitan SUN, masyarakat banyak pindah dari deposito ke SUN, dari tabungan ke ORI (Obligasi Ritel)‎. Jadi pemerintah mau lari kencang tapi ngebunuh saudaranya sendiri (bank),” kritik dia.

Apalagi dengan semakin pastinya suku bunga The Federeral Reserve atau The Fed fund rate di bulan ini akan semakin memukul sektor keuangan di dalam negeri. Dipastikan akan semakin banyak dana yang disimpan di sektor keuangan dalam negeri mengalir ke Amerika Serikat (AS).

Faisal memperkirakan Gubernur The Fed Janet Yellen akan menaikkan suku bunyanya dalam tempo sepuluh hari lagi.

“Jadi sudah pasti nih (suku bunga AS naik). Nah, ini bakalan jadi tantangan baru untuk Indonesia terutama BI (Bank Indonesia). Mau bagaimana dengan suku bunga BI beserta kebijakannya itu. Termasuk sektor perbankan sendiri,” tegas Faisal.

Indikator perekonomian AS memang menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Hal ini ysng membuat The Fed menaikan suku bunganya. Seperti angka pengangguran AS turun tajam dari 4,9% ke 4,6%. Kemudian, jumlah orang yang berhasil diserap di pasar kerja AS sebanyak 171 ribu di bulan lalu.

“Juga, upah rata-rata buruh di sektor swasta naik 2,8% pada Oktober, sedikit turun jadi 2,4% di bulan November, tapi tetap diatas pertumbuhan upah long term yang 2%. Itu indikator yang positif,” tersng dia.

Dengan kondisi tersebut, Faisal memperkirakan akan menjadi kondisi berat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan kondisi perbankan yang melambat dan kontribusi belanja pemerintah masih rendah, sehingga pertumbuhan ekonomi tak akan lebih dari 5%.

“Selama ini, komponen konsumsi itu ranahnya 56 persen (terhadap PDB), kemudian investasi 34 persen, belanja pemerintah 10 persen. Tapi‎ konsumsi tahun depan kecenderungan melambat ke level bawah,” tutur Faisal.

Untuk itu, kata dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan tidak akan jauh berbeda dari estimasi pencapaian 2016 ini

“Tahun ini sekitar 4,9 persen dan tahun depan pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5 persen,”‎ ujar dia.

‎Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2017 di level 5,2 persen dan Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,0-5,4 persen.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid