Jakarta, Aktual.com – DPD RI prihatin dengan banyaknya kasus yang menimpa birokrat dan pejabat penyelenggara negara, seperti kasus suap Bupati Klaten dan perselingkuhan Bupati Katingan. DPD menilai rentetan kasus tersebut merupakan potret kecil dari kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran etik pengemban kebijakan.
Hal tersebut menjadi momentum Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam menyusun RUU tentang Etika Penyelenggaraan Negara.
Ketua Komite I Ahmad Muqowam mengatakan dalam renstra tahun 2017 yang menjadi RUU insiatif DPD, pihaknya ingin fokus kepada RUU tentang Etika Penyelenggaraan Negara dan RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Wilayah Kepulauan.
“Komite I DPD akan targetkan agar dapat selesai di masa sidang 2017 ini,” ujar Muqowam dalam Rapat Dengar Pendapat di Ruang Rapat Komite I Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (25/1).
Hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut yakni Cendekiawan yang juga pengamat Politik Sosial Yudi Latif, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia) dan Direktur Eksekutif, Reform Institute Enceng Shobirin Nadj, peneliti dan pengamat sosial politik dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Yudi Latif menyatakan saat ini tatanan dalam ruang publik mengalami penurunan seolah-olah tidak mampu mengatasi konflik, seperti dis-informasi hoax.
Menurutnya, perlu adanya RUU tentang Etika Penyelenggaraan Negara di setiap instansi dan lembaga apapun.
“Ada kode etiknya yang membatasi perilaku dalam hal ini penyelenggara negara, bahkan perlu dibentuk mahkamah etik untuk menilai dan memberikan sanksi yang tepat setiap pelanggaran perilaku penyelenggara negara. Saat ini kita belum ada landasan hukum yang tepat yang mendasari pelanggaran etika tersebut,” ucap Yudi Latif dalam rapat.
Senada dengan Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute Enceng Shobirin mengatakan, bahwa dalam mengatur aparatur penyelenggara negara mereka harus menjalankan fungsi sesuai tata aturan dari norma menjadi hukum positif.
“Undang-Undang ini tidak lepas dari mengatur dan membatasi/sanksi, Undang-Undang ini harus berkonstribusi demi kelangsungan penyelenggara negara ini sendiri. Kajian undang-undang yang terkait harus lebih serius dan mendalam, sebelum berbicara ke aturan-aturan yang lebih tarurai. Bicara hukum dan kebijakan ada tiga unsur yaitu konten, struktur, dan kultur, etika ada di wilayah kultur maka dia harus ditransformasikan ke dalam konten dahulu,” ucapnya.
Laporan: Nailin
Artikel ini ditulis oleh: