Megaproyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung (Aktual/Ilst.Nlsn)
Megaproyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung (Aktual/Ilst.Nlsn)

Jakarta, Aktual.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) dituntut bersikap tegas membatalkan proyek mercusuar kereta api cepat (high speed train-HST) Jakarta-Bandung yang menelan biaya sekitar USD5,5 miliar atau senilai Rp75 triliun. Pasalnya, bukan saja tidak ada urgensi dan manfaatnya bagi sarana transportasi publik, tapi juga banyak mudharatnya.

“Karena itu, Presiden Jokowi harus bersikap tegas membatalkan proyek tersebut, apalagi anggaran biayanya dari hasil pinjaman utang ke China dengan ekuitas konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui penjaminan asset. Ini kan logika yang tidak masuk akal dan terlalu dipaksakan,” ujar pengamat kebijakan publik Rusmin Effendy kepada Aktual.com, Kamis (10/3).

Seperti diketahui, proyek kereta cepat melibatkan konsorsium BUMN, yang terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PR Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero).

Menurut Rusmin, yang perlu dicermati publik dibalik pembangunan kereta cepat, China ingin menguasai lahan-lahan perkebunan di Indonesia sebagai penjaminan asset milik PTPN.

“Inilah yang disebut jebakan batman. Salah satunya adalah PTPN VIII yang siap menyerahkan tanah yang digunakan untuk proyek ini. Ekuitasnya itu dibayar pakai tanah atau uang tunai. Sehingga, China bisa menguasai tanah-tanah perkebunan yang ada di Indonesia,” ujarnya.

Disisi lain, lanjut Rusmin, pembangunan kereta cepat sama sekali tidak ada urgensinya bagi kepentingan transportasi rakyat, hanya proyek tipu-tipu antara penguasa dengan taipan China.

“Kan bukan rahasia umum lagi, negosiator pemerintah diwakili Meneg BUMN dengan taipan China. Sebagai negosiator, tentunya bisa mendapatkan fee dari proyek tersebut karena sudah berhasil mencari investor. Ini yang perlu disikapi dibalik proyek kereta cepat,” papar dia.

Rusmin menambahkan, DPR seharusnya bersikap tegas menolak atau setidaknya membentuk Pansus mengenai kereta cepat dan meminta penjelasan langsung dari presiden.

“Saya heran, kok DPR melempem lagi soal kereta cepat. Sebelumnya begitu semangat menolak. Kalau pemerintah serius, lebih baik membangun infrastruktur di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua yang jauh lebih membutuhkan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan