Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio (kedua kiri) didampingi Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Hamdi Hassyarbaini, serta Direktur Pengembangan BEI, Hosea Nicky Hogan saat memberikan penjelasan pada jumpa pers di Galeri BEI, Jakarta, Kamis (27/8). Bursa Efek Indonesia (BEI) menemukan ada 14.000 transaksi kena batas bawah auto rejection. Enam Anggota Bursa (AB) dicurigai lakukan short selling. Tito mengaku tak habis pikir ada sejumlah perusahaan raksasa yang mengeruk begitu banyak sumber daya alam di Indonesia tapi mencatatkan sahamnya di luar negeri. AKTUAL/EKO S HILMAN

Jakarta, Aktual.com — Maraknya saham-saham kategori tidur alias tidak ada aktivitas perdagangannya memunculkan polemik di mata investor. Pasalnnya, jika ada investor yang mengantongi saham itu, tapi sahamnya malah tidak bergerak sama sekali, maka investor juga yang akan dirugikan.

Menurut Analis PT NH Korindo Securities, Reza Priyambada, pihak otoritas seperti Bursa Efek Indonesia (BEI) mesti tegas mengatur emitem seperti. Kalau perlu, mereka dapat dikeluarkan dari bursa alias delisting.

“Saham ‘tidur’ itu akibat tidak adanya aksi korporasi. Padahal jika korporasi melakukan aksi bisnisnya dan di-blow up media, maka investor juga akan tertarik untuk membeli sahamnya,” kata Reza di Jakarta, Kamis (11/2).

Padahal, kata dia, jika korporasi itu rajin melakukan aksinya akan menggenjot likuiditas perdagangan saham ‘tidur’ tersebut. Dia mencontohkan, aksi korporasi seperti sektor perbankan yang mudah sekali diberitakan media. Sehingga sahamnya juga akan bergeliat.

“Lihat saja bank bank BUMN, hanya buka cabang di kota kecil saja muncul di media, sehingga investor tertarik untuk memperdagangkan sahamnya,” tandas dia.

Makanya, dia menyarankan, butuh ketegasan BEI. Tapi dari sisi BEI, dia sendiri mengakui kalau otoritas itu masih dilema. Karena jika emiten seperti itu di-delisting maka jumlah emiten di BEI akan semakin banyak susut. Karena kabarnya, ada sekitar 50-an emiten dalam kategori saham ‘tidur’.

Hanya saja, ia meminta BEI, lebih aktif melakukan pendekatan kepada manajemen emiten saham ‘tidur’ itu. Apalagi dalam rangka meningkatkan jumlah investor.

“Karena risikonya, jika ada investor yang kebetulan memiliki saham ‘tidur’ ya akan berdampak ke yang lain, dan nilai transaksi akan menurun,” ujarnya.

Namun satu sisi, Reza juga menyarankan ke emiten tersebut,
karena sebagai perusahaan terbuka harusnya mau melakukan aksi korporasi.

“Jadi perlu ada niatan baik dari emiten sebagai perusahaan terbuka, kalau tidak mau sebaiknya ya keluar saja dari bursa,” pinta dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka