Jakarta, Aktual.com – Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tirta Karma Sanjaya menilai bahwa pajak terhadap aset kripto turut berdampak terhadap nilai transaksi kripto di dalam negeri.
Menurutnya, keputusan untuk menerapkan pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan (PPh) pada transaksi kripto, mengakibatkan banyak para nasabah yang bertransaksi kripto di luar negeri.
“Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri,” kata Tirta dalam acara Talk Show tentang Ekosistem Kripto oleh Indodax di Jakarta, Selasa (27/2).
Sebelumnya, pemerintah telah resmi menetapkan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang mulai berlaku pada 1 Mei 2022.
PMK tersebut mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Tirta menegaskan bahwa penerapan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang mengingat industri kripto di Indonesia saat ini masih tergolong baru. Menurutnya, industri yang masih baru tersebut seharusnya diberi ruang untuk bertumbuh.
“Kalau dikenakan (pajak) langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” ujarnya.
Oleh karena itu, seiring dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini, diharapkan juga menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali aturan pajak aset kripto.
“Biasanya pajak ada evaluasi kalau pajak aset kripto tidak direduksi, setidaknya pengenaannya tidak PPh dan PPn. Kami bersama asosiasi siap berkoordinasi dengan Dirjen Pajak,” terang Tirta.
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa penerapan pajak atas aset kripto telah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Bahkan, penerimaan pajak atas aset kripto telah melampaui 50 persen dari total pajak yang diterima dari sektor financial technology (fintech).
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa hingga akhir Januari 2024, penerimaan negara dari pajak kripto telah mencapai Rp39,13 miliar.
Dari jumlah tersebut, sekitar Rp18,2 miliar berasal dari pajak penghasilan (PPh) pasal 22, sementara sekitar Rp20 miliar berasal dari pajak pertambahan nilai (PPn) atas transaksi kripto.
Pada kesempatan yang sama, dari sisi pelaku industri, Direktur Utama Indodax Oscar Darmawan berharap bahwa pajak PPn terhadap aset kripto dapat dievaluasi ulang, dan hanya menerapkan PPh sepertihalnya transaksi di pasar saham.
“Perkembangan regulasi semakin baik di Indonesia dengan adanya pajak kripto baik PPh dan PPn, tetapi dengan tidak adanya PPn, itu lebih baik,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan