Jakarta, Aktual.com —  Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil meyakini tingkat ketimpangan ekonomi antarpenduduk atau rasio gini pada 2015 dan 2016 akan turun seiring reformasi kebijakan pembangunan dan perubahan politik anggaran pemerintah.

“Kita harapkan tahun-tahun ini ada perbaikan sedikit. Tahun depan kita targetkan 0,39, dengan upaya maksimal kita sangat harapkan bisa mengejar itu,” kata Sofyan di Jakarta, Senin (10/11).

Sofyan mengakui bahwa menurunkan tingkat ketimpangan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia bukan hal yang mudah. Namun sejak penyusunan anggaran untuk 2015, lanjut dia, pemerintah sudah berupaya mengubah kebijakan pembangunan yang parsial menjadi kebijakan yang terpadu antarsektor.

Misalnya rencana pembangunan di suatu wilayah selalu mengacu pada tiga sasaran dimensi pembangunan yakni dimensi pembangunan sumber daya manusia, pembangunan sektoral dan pembangunan antarkewilayahan.

“Perlu waktu dengan koreksi kebijakan yang tepat,” ujarnya.

Selain itu, dari sisi kebijakan anggaran, kata dia, pemerintah sudah mereformasi instrumen fiskal agar alokasi belanja banyak berpihak ke sektor-sektor yang signifikan untuk membuka lapangan pekerjaan.

Salah satu contohnya, kata dia, adalah program untuk Dana Desa sebesar Rp20,7 triliun di 2015 dan Rp47 triliun di 2016.

“Ada juga desentralisasi fiskal untuk perbesar anggaran di daerah,” ujarnya.

Untuk memberdayakan masyarakat di daerah, pemerintah, kata Sofyan, telah membuat pagu anggaran Dana Alokasi Khusus Infrastruktur Publik. Dengan DAK itu, sarana dan prasarana untuk meningkatkan akses pekerjaan dan produktivitas masyarakat di daerah bisa memadai.

Tujuan yang perlu dicapai dalam mengurangi tingkat kesenjangan, kata Sofyan, adalah bagaimana mempercepat peningkatan pendapatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal tersebut, kata Sofyan, akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah.

“Masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih cepat naiknya dibanding masyarakat berpenghasilan tinggi. Itu memang perlu didorong lagi,” kata dia.

Tingkat ketimpangan dari indikator rasio gini di Indonesia selama lima belas tahun terakhir semakin melebar. Pada 2015, rasio gini tercatat 0,413, atau melaju signifikan dibanding dekade awal 2000 yang berkisar di 0,30.

Menurut Sofyan, peningkatan kesenjangan itu tidak lepas dari era tingginya harga komoditi global pada 2008-2011 yang juga melanda Indonesia. Saat itu, dampak dari peningkatan harga komoditi hanya dinikmati oleh sebagian kalangan, terutama masyarakat berpenghasilan tinggi.

“Akses untuk menikmati tingginya harga komoditi saat itu tidak terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Akhirnya yang duduk di lapisan bawah sulit menikmati,” ujarnya.

Pemerintah menargetkan rasio gini dapat turun pada 2015 menjadi 0,40 dan 0,39 pada 2016.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka