Jakarta, Aktual.com —Pembangunan dan perkembangan teknologi, baik untuk alasan kemakmuran ataupun demi mencegah dampak negatifnya, tidak bisa ditundukkan hanya pada prinsip-prinsip keteknikan atau rasio instrumental semata. Idealnya, perkembangan ini harus ditarik ke jangkar sosio-kultural tempat dialog-dialog konsensual dilakukan. Hal ini penting karena teknologi tidak sekadar persoalan perangkat keras, malainkan juga menyangkut sistem nilai, aspek ideasional dan daya estetik-puitik dari komunitasnya. Teknologi terlalu berharga untuk diserahkan hanya kepada segelintir elite politik, komersial, dan keilmuan. Manusia Indonesia perlu dijadikan sadar akan kebudayaan. Ia secara aktif harus turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaan dalam rangka mendorong perkembangan iptek.
Apabila kita arahkan ingatan kita jauh ke belakang, lalu bergerak ke depan untuk memotret kinerja pembangunan hingga saat ini, segera muncul pertanyaan di benak kita: Apa sesungguhnya yang keliru dalam proses pembangunan di negeri ini? Kekayaan alam tidak mewariskan kemakmuran, kelimpahan penduduk tidak menjadi kekuatan pengubah, dan keanekaragaman kultural tidak mendorong semangat penggubah.
Ini negeri, kekayaan alamnya nomor tiga di dunia. Tetapi di negeri seruah ini, tantangan pembangunan masih berkisar pada persoalan-persoalan mendasar: keperluan mengurangi angka kemiskinan, kemampuan menyediakan lapangan kerja, penyediaan air bersih, dan kenyataan makin bubrahnya keseimbangan ekosistem.
Ini negeri, juga dikenal sebagai “the mega-biodiversity”. Tetapi, di negeri yang keragaman hayatinya nomor wahid di dunia ini, telah terlampau banyak materi dan pengetahuan biota laut, dan kekayaan hutan tropisnya, yang terkuasai negara-negara maju dengan imbalan yang murah. Peran kita dalam pemanfaatannya, boleh dibilang sekadar pemasuk serbuk obat ke dalam selungkup kapsul yang diciptakan pihak luar.
Sudah satu abad lamanya John Maynard Keynes (1883-1946) berteori bahwa pertambahan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Tetapi kita tampaknya masih perlu bersabar untuk dapat melihat hal itu terbukti di sini. Catatan pembangunan di negeri ini memang menunjukkan angka pertumbuhan yang terus meningkat.
Tetapi utamanya bukan karena faktor sumberdaya insani, melainkan lebih karena pemborosan sumberdaya alam yang kelewat batas. Sementara itu, faktor pendukung sendiri masih sering dianggap sebagai masalah ketimbang sebagai aset berharga.
Mana pula klaim bahwa kebhinekaan budaya merupakan aset bangsa? Selain paket-paket kultural untuk konsumsi pariwisata, tidak tampak adanya pengolahan secara kreatif untuk menjadikan modal kultural itu sebagai driving force bagi kemajuan dan kemandirian bangsa.
Tidakkah ini semua menggugah kesadaran kita? Di satu sisi, kita patut bersyukur bahwa Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya kultural yang sangat berlimpah. Namun di sisi lain, kita melihat betapa kinerja kebudayaan kita untuk memuliakannya masih sangat miskin.
Jika kata “kebudayaan” disepadankan dengan istilah “culture”, yang secara etimologis berarti “mengolah tanah”, akan semakin terbuka jendela kesadaran kita, bahwa kemiskinan yang menyelimuti kehidupan kita itu justru disebabkan oleh kemiskinan kreativitas kultural itu sendiri, yakni lemahnya daya-daya saintifik dan etos kerja untuk mengaktualisasikan potensi-potensi sumberdaya yang berlimpah itu.
Dalam konteks inilah kita memandang bahwa adopsi dan pengembangan teknologi di Indonesia, bukan saja sesuatu yang perlu melainkan juga imperatif. Teknologi telah menjadi ciri pendefinisi masyarakat masa kini. Suka atau tidak, keberadaannya telah menjadi begitu sentral dalam mempengaruhi cara hidup dan kehidupan kita. Masalahnya adalah, teknologi macam apa, bagaimana hal itu dikembangkan, untuk apa dan untuk siapa? Tulisan ini akan mencoba memberikan argumen tentang pentingnya basis humaniora (sosio-kultutal) bagi perwujudan karakter-kemajuan. (bersambung)
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual