Ilustrasi/Ist

Jakarta, Aktual.com – Center for Youth and Population Research (CYPR) menilai, profil risiko produk Produk Tembakau Alternatif (PTA) 95 persen lebih rendah daripada rokok konvensional. Tren rokok elektrik sendiri kian popular mencapai hingga 2,2 juta pengguna pada 2020.

Hal ini merupakan hasil studi yang  berjudul Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product in 2018.

“Kendati demikian, penting untuk mengkaji apa limbah rokok elektrik ini memiliki potensi rendah risiko yang sama dari aspek lingkungan,” ujar Direktur Eksekutif CYPR, Dedek Prayudi dalam diskusi bertajuk “Limbah Rokok Elektrik: Ancaman atau Potensi?”, dalam rangka peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022, beberapa waktu lalu.

Dalam paparannya, Dedek Prayudi menyatakan bahwa tarik-menarik argumen antara sisi kesehatan dan ekonomi acap kali menyebabkan kekosongan regulasi untuk PTA.

Diperlukannya kepastian hukum yang mendukung simpul-simpul dari hulu ke hilir dalam industri tembakau akan mampu menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia, sekaligus sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan.

Meski adanya perdebatan mengenai limbah elektronik dari rokok elektrik, tetapi Dedek menambahkan bahwa limbah elektronik memiliki potensi untuk didaur ulang dan ini juga sudah diperkuat dengan program riset terbaru dari Kementerian Perindustrian mengenai daur ulang baterai.

“Ini industri yang berkembang pesat, dan selayaknya industri yang tumbuh dengan cepat tentunya sangat dibutuhkan riset R&D yang memadai.Namun, tentunya kita paham bahwa riset R&D berbiaya mahal, sehingga perlu adanya kepastian hukum, kerangka regulasi yang mendukung pertumbuhan industri serta skema insentif dan disentif agar pertumbuhan terus bergerak ke arah positif,” urainya.

Dosen Teknik Industri Universitas Pancasila Dr. Dino Rimantho yang juga hadir dalam diskusi menyatakan, limbah elektronik perlu dikelola dengan baik, dan dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan kelompok masyarakat.

“Saya mengapresiasi sudah ada gerakan-gerakan yang dilakukan komunitas vape contohnya, untuk penanggulangan dampak dan daur ulang limbah elektronik dari produk. Upaya ini tentunya harus terus didukung dengan skema pengolahan limbah yang lebih terstruktur dari hulu hingga hilir, utamanya jika ada limbah B3 yang memerlukan treatment khusus,” ujar Dr. Dino.

Ia juga menambahkan, berkaca dari studi kasus di beberapa negara, seperti Taiwan dan Jepang, terdapat kebijakan insentif untuk mengembalikan produk elektronik bekas pakai yang dapat diadopsi juga di Indonesia.

Sementara Sekjen APVI, Garindra Kartasasmita menilai potensi besar dari industri vape di Indonesia yang bisa menjadi sentra produksi dunia.

Garindra menyoroti konsumsi PTA yang terus meningkat, termasuk dari sisi penerimaan cukai yang menunjukkan kontribusi positif terhadap pemasukan negara dari tahun ke tahun.

“Kita tentunya masih membutuhkan regulasi yang komprehensif, tidak hanya pada faktor produksi, akan tetapi juga terkait penanganan limbah elektrik dari pemakaian device. Tren produk PTA akan semakin beragam, seperti misalnya di masa
depan akan ada produk disposable pod,” tuturnya.

Menurutnya, skema penanganan limbah ini perlu mendapatkan perhatian khusus agar tidak membebani lingkungan.

“Kami senang pada hari ini mendengar paparan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang mengisyaratkan bahwa kerja sama industri dan pemerintah terkait persoalan ini terbuka,” sebut Garindra.

Menanggapi masukan-masukan yang disampaikan oleh ahli dan pelaku industri, Astien Setyaningrum, yang mewakili Kemenperin menyampaikan, keberadaan limbah elektronik tentu dapat didaur ulang, dan kementerian terus menggodok kebijakan untuk mendukung pengolahan limbah elektronik. Termasuk, rokok elektrik.

“Limbah tidak akan selalu menjadi sampah, meski memang saat ini belum ada kebijakan khusus yang mengatur limbah rokok elektrik. Tetapi sudah ada payung hukumnya dan Kemenperin memiliki payung industri hijau yang bekerja sama dengan institusi-institusi transversal, seperti pembuatan 6 mini depo pusat industri hijau. Tentu ke depannya akan terus dikembangkan kebijakan yang sesuai, mengingat industri ini juga berkembang dengan pesat,” beber tutup Astien.

Dalam diskusi para panelis sepakat bahwa tidak hanya PTA memiliki dampak yang cenderung lebih rendah bagi kesehatan, demikian pula halnya bagi lingkungan.

Para panelis berharap, ke depannya akan ada regulatory framework yang lebih jelas mengenai ekosistem dari hulu ke
hilirnya untuk mendukung pertumbuhan industri. Utamanya, menilai dari potensi pengembangan produk yang memiliki nilai keekonomian tinggi.

Tentunya kerangka pengolahan limbah serta daur ulang produk juga perlu dipikirkan matang agar tidak menambah masalah lingkungan.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby