Dia menilai, acara reuni tersebut merupakan gerakan oposisi politik. Bawaslu, kata dia, harus melakukan evaluasi terhadap kegiatan itu. “Apakah 212 ini bagian dari curi start kampanye atau tidak. Itu yang harus dievaluasi apalagi Prabowo hadir dalam acara itu,” kata dia.

Dari aspek sejarah, kata dia, gerakan 212 selalu bermuatan politik. Dan, selalu dipakai untuk menyerang lawan politik. Mengerahkan massa bersimbol agama namun dengan kepentingan politik elektoral.

Kata dia, eskalasi gerakan yang seiring dengan momen kampanye politik yang semakin mendekati waktu pemilihan 2019, dapat disinyalir reuni 212 ditunggangi oposisi yang bertujuan meraih kekuasaan.

Sikap Bawaslu yang tak tegas, mengkhawatirkan. Karena, kurangnya sensitivitas anggota Bawaslu terkait dengan penggunaan istilah-istilah agama di dalam menafikan hak warga negara untuk dipilih dan memilih. Dia pun mendorong Bawaslu untuk bersikap tegas, terutama dalam hal sensitivitas terhadap penggunaan simbol-simbol agama untuk membatasi hak dipilih dan memilih pihak lain.

“Jika tidak, ruang politik kita bisa marak kembali dengan isu SARA. Sesuatu yang dampaknya telah terlihat dalam pelaksanaan pilkada DKI kemarin. Sikap tanggap Bawaslu tentu dibutuhkan,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara