Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Koordinator Divisi Pengawasan Sosialisasi Mochammad Afifudin (tengah) bersama Anggota Bawaslu Koordinator Divisi Hukum Fritz Edward Siregar (kanan) dan Tim Asistensi Bawaslu Muhammad Zaid (kiri) memberikan keterangan kepada media terkait Hasil Pengawasan Tahapan Pendaftaran Parpol Peserta Pemilu 2019 di Media Center Bawaslu , Jakarta, Selasa (17/10/2017). Dalam keterangannya Bawaslu menemukan tiga temuan terkait proses input data Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) oleh parpol yang diterapkan KPU yaitu "troubleshooting" laman SIPOL di tengah proses pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan pendaftaran, "traffic uploading" data SIPOL dan SIPOL tidak bisa mengindetifikasi dokumen ganda seperti yang dialami oleh PSI. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Mochammad Afifudin mengakui jika Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, atau UU Pemilu, memang terdapat ketentuan sanksi bagi pelaku mahar politik.

Afif, sapaannya, menyebutkan jika sanksi ini telah ditentukan dalam Pasal 228 UU Pemilu, yaitu tidak dapat mencalonkan pada periode selanjutnya.

Namun demikian, sanksi ini dikatakan Afif hanya dapat dikenakan melalui putusan pengadilan. Kepada awak media, Afif pun mengaku jika pihaknya masih mengkaji terkait hal ini.

Dia menegaskan, Partai Politik yang menerima imbalan harus dibuktikan melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Pasal 228 (UU Pemilu,-red) itu dilarang menerima imbalan, (sanksi,-red) dilarang mengusung calon pada periode berikutnya. Yang menerima imbalan itu harus diputuskan dengan putusan pengadilan,” kata dia dilontarkannya usai pelantikan 1.914 anggota Bawaslu Kabupaten/Kota di Jakarta, Rabu (15/8).

Namun, dia menambahkan, apabila telah terbukti ditemukan adanya pemberian mahar politik, pihaknya tidak dapat memberikan sanksi berupa mengugurkan pasangan calon presiden-wakil presiden.

Ketentuan itu berbeda, jika mengacu pada aturan mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada).

“Secara aturan ini pidananya belum kelihatan, berbeda dengan Pilkada. (Mengugurkan pasangan calon,-red) itu di pilkada. Mekanisme enggak diatur dalam UU, kan kita menjalankan amanah UU,” tambahnya.

“Asal ada aturannya enak kita, aturan turunan dari (UU Pemilu),” tutup Afif.

Sebagaimana diketahui, persoalan mahar politik ini menjadi ramai akibat cuitan Wasekjen Demokrat Andi Arief pada beberapa waktu lalu. Dalam akun twitter pribadinya, Andi Arief menyebut adanya mahar politik sebesar Rp 500 miliar kepada PAN dan PKS terkait posisi Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang akan mendampingi Prabowo.

Dugaan mahar ini pun telah dilaporkan kepada Bawaslu RI pada Selasa (14/8) kemarin. Tercatat, dua lembaga yang melaporkan masalah ini, yaitu Relawan Nusantara dan Federasi Indonesia Bersih.

Sementara, Pasal 228 UU Pemilu sudah melarang segala bentuk pemberian imbalan terkait pencalonan presiden/wakil presiden. Jika terbukti, parpol itu tak boleh mengusung capres/cawapres di periode berikutnya.

Berikut bunyi aturan mainnya:

Pasal 228

(1) Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden;

(2) Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya;

(3) Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan