Jakarta, Aktual.co — Akhirnya pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, masing-masing Rp. 2000 untuk jenis premium (31 %) dan solar (36 %). Dimata pemerintah, secara ekonomi, pencabutan subsidi ini akan memberikan keleluasaan fiskal untuk membiayai sektor infrastruktur, kebijakan-kebijakan sosial kesejahteraan, dan kebijakan-kebijakan yang akan menyokong visi kemaritiman Jokowi.
Disisi lain, secara politik, pencabutan subsidi ini akan menjauhkan pemerintah dari batas atas defisit anggaran yang diizinkan, yakni sebesar 3 %. Bahkan bisa berada dibawah asumsi defisit anggaran yang telah direncanakan dalam APBN 2015, yakni sebesar 2,2 %. Artinya apa? Artinya secara politik, pemerintah bisa menjauh dari lobang jarum impeachment (pemakzulan) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan jika ternyata sampai melewati batas atas defisit 3 % tersebut.
Secara matematis, pencabutan subsidi BBM sebesar Rp. 2000 bisa menghasilkan anggaran tambahan sebesar lebih kurang Rp. 100 Triliun. Angka kasar ini didapat dari kalkulasi sederhana, yakni Rp. 2000 dikali 46 juta kilo liter asumsi konsumsi nasional. Maka hasilnya bisa mengurangi asumsi defisit dalam APBN 2015 yang direncanakan sebesar Rp.245,9 T atau 2,2 % dari PDB. Defisit ini disebabkan oleh target “penerimaan negara” yang berada dibawah angka “belanja negara” yang direncanakan. Target penerimaan negara adalah sebesar Rp. 1.793,6 Triliun, sementara itu asumsi belanja negara yang direncanakan adalah sebesar Rp. 2.039,5 Triliun.
Selain itu, pemerintah merasionalisasi pencabutan subsidi BBM ini dengan fakta statistik tentang subsidi yang salah sasaran. Data dari kementerian ESDM menunjukan, pemilik mobil pribadi menikmati premium bersubsidi sebanyak 12 juta kilo liter atau setara dengan 53 % dari konsumsi BBM. Dominasi konsumsi tersebut ada di pulau Jawa dan Bali. Data ini tentu tak jauh berbeda dengan hasil kajian Bank Dunia beberapa waktu lalu yang intinya adalah bahwa subsidi BBM ternyata diterima oleh pihak-pihak yang tidak tepat.
Tak dapat dipungkiri, persoalan subsidi BBM ini memang sangat dilematis, “njelimet”, bahkan menyakitkan, baik untuk pemerintah ataupun untuk rakyat. Beban yang ditanggung negara tiap tahun terus naik, selain tata kelola dan tata niaga BBM yang sampai detik ini belum juga dibeberkan secara komprehensif yang menyebabkan “cost recovery” terus berlipat, fluktuasi harga minyak duniapun beberapa tahun belakangan cendrung tak bersahabat.
Bahkan empat tahun belakangan, sejak 2011, penerimaan dan pajak penghasilan minyak dan gas bumi selalu lebih kecil dari subsidi yang dikeluarkan. Artinya, subsidi tidak lagi dibiayai oleh sektor penghasil migas itu sendiri, tapi sudah menyedot penerimaan pajak dari sektor-sektor lain. Data dari Pusat Studi Internasional untuk Ekonomi Terapan (Inter-Cafe) IPB menunjukan, tahun 2011 penerimaan pajak dari sektor migas sebesar Rp. 220 Triliun, sementara subsidi BBM ada diangka Rp. 255 triliun. Pada tahun 2012, 2013, dan 2014 pun tak berbeda, penerimaan pajak dari sektor migas berturut-turut sebesar Rp. 230 triliun, Rp. 210 Triliun, dan Rp. 220 Triliun. Sementara beban subsidi berturut adalah Rp. 255 Triliun, Rp. 360 Triliun, dan Rp. 282 Triliun.
Fakta-fakta ini jelas semakin mencekik pemerintah. Janji-janji indah akan tinggal kenangan jika tidak ada keleluasaan fiskal untuk membiayainya. Semetara itu, pemerintah yang baru terlihat begitu ambisius untuk segera bekerja dan menelurkan kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu dan mungkin. Maka, jalan pintas tercepat, sebagaimana rezim-rezim terdahulu, adalah pencabutan subsidi BBM. Inilah opsi yang paling cepat, selaras dengan karakter kepemimpinan Jokowi yang ingin serba cepat.
Namun tunggu dulu, apakah ini adalah opsi terakhir dan opsi yang paling mungkin? Apakah tidak ada solusi lain? Bagaimana dengan kalkulasi Kwik Kian Gie? Pernahkan pemerintah menjelaskan itu? Lain pemerintah lain pula Mantan Kepala Bappenas era Megawati itu. Dalam kalkulasi polos Kwik, subsidi BBM itu adalah pembohongan publik, pembodohan yang keterlaluan. Pasalnya, dimata beliau, dengan harga premium Rp. 6500 perliter itu saja, pemerintah sudah dapat untung, jadi tidak ada istilah subsidi-subsidian. Mengapa bisa begitu? Karena menurut beliau, biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) plus biaya pengilangan (refining) dan biaya transportasi sampai ke pom bensin-pom bensin rata-rata adalah 10 USD per barel. Jadi biayanya perliter cuma Rp. 755. Semestinya pemerintah sudah untung Rp. 5.745 perliter dengan harga jual Rp. 6500 tersebut (6500 – 755 = 5745). Mengapa Rp. 755? Kalkulasinya begini, 1 Barel eqiuvalen dengan 159 liter, asumsi per 1 dollar adalah Rp. 12000. Maka hasilnya, 10 : 159 x 12000 = 754,7, dibulatkan menjadi 755.
Inilah dasar pemikiran Kwik Kian Gie mengapa beliau berani berkoar-koar menentang setiap rencana pencabutan subsidi BBM. Rasanya susah menolak kalkulasi matematis nan polos ini, kecuali dengan agak pasrah memakai logika harga pasar bahwa harga tidak hanya ditentukan oleh biaya produksi per se, tapi juga oleh kekuatan permintaan, penawaran, kelangkaan, dan kebijakan-kebijakan dari korporasi minyak raksasa tingkat dunia beserta organisasi yang memayunginya. Namun demikian, tidak sedikit negara-negara dunia yang mendasarkan harga BBM domestiknya dari logika beliau ini sehingga melahirkan harga yang jauh dibawah harga acuan dunia, yaitu New York Mercantile Exchange (NYMEX). Sebut saja misalnya Venezuela (Rp. 585/ liter), Turmekistan (Rp. 936), Nigeria (Rp. 1.170), Iran (Rp. 1.287), Arab Saudi (Rp. 1.404), Libya ( Rp. 1.636), Bahrain (Rp. 3.159), dan Kuwait ( Rp. 2.457), dll.
Selain kalkulasi Kwik Kian Gie, kebijakan menaikan harga BBM ini juga sangat disayangkan karena dinilai tidak kreatif dalam menyikapi penyempitan ruang fiskal dan tidak inovatif dalam menyiasati BBM itu sendiri. Meskipun di akhir pengumumannya Jokowi sempat mengatakan akan terbuka menampung semua usulan alternatif dari semua pihak, nyatanya ide ciamik dari Rizal Ramli yang sudah didengungkan sejak lama ternyata tak sedikitpun mendapat tempat. Padahal ide ini sangat masuk akal dan sangat kreatif.
Menurut Rizal, pemerintah bisa menyiasati dilema BBM ini dengan membagi dua jenis BBM berdasarkan kadar oktannya, yakni BBM Rakyat (Oktan 80 %, kadar sebelumnya 83 %) dengan harga tetap Rp. 6500 dan BBM Super (Oktan 92 %) dengan harga Rp. 12000. Diversifikasi ini menurut Rizal bisa menyelamatkan anggaran sampai Rp. 40 Triliun. Dengan perbedaan kadar oktan tersebut, maka pemilik kendaraan yang seharusnya mengonsumsi BBM super tapi malah memakai BBM Rakyat akan berfikir panjang karena akan berpengaruh terhadap performa mesin kendaraanya.
Selain itu, Rizal juga menyayangkan fakta lifting minyak yang terus anjlok, sementara cost recovery terus berlipat sampai 200 %. Jika saja pemerintah berani menekan angka cost recovery sampai 30 % saja, maka anggaran negara akan terselamatkan sebesar Rp. 54 Triliun. Sebagaimana yang disepakati DPR, cost recovery dalam APBN 2015 pun sudah mencapai 16 Miliar Dollar, naik dari tahun sebelumnya 15 Miliar Dolar.
Tidak bisa dipungkiri, ide dan kritik Rizal terasa sangat realistis. Bahkan baru-baru ini SKK Migas mengumumkan lifting minyak yang terus turun, yakni 798.000 Barel Per Hari (BPH), sedikit dibawah target APBN 2014 sebesar Rp. 818.000 BPH. Ini artinya, pemerintah tidak melulu harus berbicara APBN jebol dan ruang fiskal yang tercekik, tapi juga tentang penurunan produksi, pembengkakak cost recovery, dan pembasmian mafia-mafia yang bersarang di sektor migas kita.
Apakah pembentukan Komite Reformasi Tata Kelola Migas yang digawangi Faisal Basri adalah jawaban pemerintah? Nampaknya tidak sepenuhnya, pembentukan Tim ini sehari lebih awal dari pengumuman kenaikan BBM. Kesannya sungguh sangat reaktif. Artinya apa? Artinya BBM tetap saja naik, pembenahan tata kelola hulu sampai hilir urusan belakangan setelah kenaikan. Selain itu, menteri ESDM sudah dengan sangat jelas meralat “raison de’tre” komite ini, yakni bukan untuk memberantas mafia migas. Kapasitasnya cuma sebatas pemberi saran setelah melakukan pengkajian, apalagi secara politik dan perundang-undangan, komite ini jelas-jelas sifatnya ad hoc dan sangat kecil untuk menghadapi raksasa-raksasa mafia yang menjadi kutu busuk dalam sektor migas kita. Jadi pendeknya, komite inipun adalah “presented by design” alias hadir sesuai skenario penguasa, bagian dari aksi keberpihakan yang dicitrakan.
Lalu bagaimana dengan rakyat? Bagaimana dengan opsi-opsi alternatif tadi? Penolakan datang dari rakyat, maka kalkulasi penderitaan rakyat akan menjadi “second opinion” jikalah pemerintah sudah berkeputusan. Pemerintah butuh uang untuk melapangkan ruang fiskal, maka asumsi logika terbaliknya untuk sementara adalah rakyat “dianggap” tak butuh uang. Pencabutan subsidi adalah bagian dari penarikan “upeti” secara halus, karena penguasa butuh uang. Soal opsi alternatif? Selama opsi alternatif muncul dari mulut pihak-pihak yang bukan penguasa, maka lagi-lagi akan menjadi “second opinion”. Karena apa? Karena pemerintah butuh uang cepat, secepat cara kerja Jokowi.
Bagaimana imbasnya? Seperti dikatakan Menkeu, Inflasi tambahan 2 persen, persis seperti skenario inflasi versi Bank Indonesia. Tapi ini baru dari satu variable BBM, belum lagi masuk variable Kurs rupiah yang terus keok menghadapi mata uang asing. Artinya, inflasi bisa saja lebih dari itu karena rata-rata bahan pokok kita sudah bisa dibilang net import. Jadi akhirnya akan ada perlambatan pertumbuhan. Ini akan diikuti oleh kenaikan suku bunga karena pemerintah ingin menghindari “capital outflow”, akibatnya adalah perlambatan kinerja ekonomi nasional, lalu pengecilan lapangan kerja baru, penambahan pengangguran dan kemiskinan.
Tapi ya sudahlah, pada saat ini, baik konsumen BBM ataupun bahan pokok, pembeli bukan lagi raja. Pemerintah mau, maka mereka akan mendapatkanya. Ini adalah logika politik dasar yang mirip-mirip hukum rimba. Mengapa? Karena mereka adalah pemerintah (the govern) dan kita adalah yang diperintah (the governed). Apa yang tersisa buat rakyat? Yang tersisa adalah satu bait lirik lagu dangdut, yaitu “sakitnya tuh disini”.
Oleh: Ronny P Sasmita
Penulis adalah Pemerhati Ekonomi Politik
Telepon: 08161857***
Artikel ini ditulis oleh: