Jakarta, Aktual.com – Aturan hukum berikut dengan ancaman pidana tentang kegiatan menyadap secara ilegal, tertuang dalam dua undang-undang yang telah berlaku di Tanah Air. Pertama, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemudian, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Larangan melakukan intersepsi dalam UU ITE diatur dalam Pasal 31, ancaman pidananya diatur dalam Pasal 47. Sanksinya pidana penjara maksimal selama 10 tahun dan denda Rp 800 juta.

Selanjutnya, UU tentang Telekomunikasi. Dalam UU tersebut larangan intersepsi tertuang dalam Pasal 40, ancaman pidanya diatur dalam Pasal 56, maksimal 15 tahun penjara.

Sadapan Legal

Sadapan berstatus legal hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang memang diberikan kewenangan menyadap. Ada setidaknya tiga lembaga yang diberikan kewenangan intersepsi tiga diantaranya, Badan Intelejen Negara (BIN), Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

BIN bisa menyadap utamanya untuk keamanan negara dengan rentang waktu yang ditentukan. Polri dapat melakukan intersepsi seizin pengadilan. Sedangkan KPK, lembaga yang punya kewenangan spesial, diperkenankan menyadap saat suatu indikasi korupsi berada di tahap penyelidikan.

Pada dasarnya hasil intersepsi yang bersifat rahasia dan untuk keamanan negara tidak dapat dipublikasikan begitu saja. Namun, jika untuk kepentingan pembuktian suatu kasus, misalnya dalam persidangan, bisa diperkenankan dengan beberapa pertimbangan.

Tapi untuk yang sifatnya terhadap keamanan negara, sangat jarang diumbar, meskipun di pengadilan.

“Kalau yang bersifat rahasia dan untuk ‘interest & security of the state’ merupakan suatu pengecualian, (eksepsionaliyis sifatnya). Dan ini bersifat universal, baik doktrin dan yurisprudensi, dan ini dibenarkan. Sangat jarang sekali pengadilan perintahkan seperti itu,” papar ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji kepada Aktual.com, Jumat (3/2).

Riuh soal penyadapan terjadi ketika sidang lanjutan kasus dugaan penidaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digelar Selasa 31 Januari 2017. Saat sidang menghadirkan Ketua Majelis Ulama KH Ma’ruf Amin, Ahok bersama tim kuasa hukumnya mengaku memiliki rekaman pembicaraan antara KH Ma’ruf dengan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Lantas dalam posisi apa sadapan Ahok berdiri?, legal atau tak legal?.

Insitusi kepolisian sendiri mengklaim akan menelusuri dugaan penyadapan terhadap Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY dan KH Ma’ruf Amin yang juga Rais Aam PBNU tersebut. (Baca juga: Polri Cari Bukti Rekaman Sadapan Kubu Ahok Terhadap SBY).

Laporan: M Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby