Jakarta, Aktual.com — Mantan Deputi Pengembangan SKK Migas, Aussie B. Gautama mengklaim bahwa apabila pengembangan blok gas Masela di Laut Maluku dibangun dengan menggunakan skema Terapung (Floating LNG/FLNG) oleh Inpex Corporation, maka akan menjadi katalisator kebangkitan industri maritim Indonesia. Bahkan hal ini juga dinilai telah sesuai dengan misi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Menurutnya, untuk memproduksi cadangan gas dari blok Masela dengan skema FLNG atau biasa dikenal offshore, Inpex akan menggunakan kapal dengan panjang sekitar 500 meter yang kemudian dimodifikasi menjadi kilang LNG.

“Kapal tersebut akan dibangun di luar negeri, tetapi isinya (topside) akan dilakukan di beberapa dok kapal di Indonesia. Dan pekerjaan ini dinilai akan  membuat sibuk dok-dok kapal di dalam negeri,” kata Aussie di Jakarta, Selasa (3/11).

Ia menambahkan, unit-unit topside atau isi kapal LNG yang harus dikerjakan dan dipasang di dok-dok dalam negeri itu antara lain Main Sparation, Dehydration, AGRU, Liquefaction, LNG Storage & Offloading, Condensate Stabilization, serta Condensate Offloading.

“Isi kapal itu bisa dipasang di dok Karimun, Batam, Surabaya, atau tempat lainnya di dalam negeri. Karena itu, paling tidak Indonesia akan menjadi hub-industri maritim di Asia Tenggara,” ujar dia.

Selain itu, lanjut dia, dengan skema tersebut nantinya di pulau Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, akan dibangun pusat logistik (Logistic Supply Base/LSB) untuk menunjang kegiatan operasi FLNG. Di sana akan dibangun pelabuhan, hotel-hotel, sistem transportasi, jasa penunjang operasi, dan pusat pelatihan tenaga kerja.

“Karena itu saya heran, katanya kita mau membangun negara maritim yang hebat, tetapi mengapa justru disuruh membangun LNG di darat?,” ungkap dia.

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang diusulkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli bersama para tokoh Tanah Maluku. Di mana Rizal menginginkan pembangunan ladang gas abadi ini menggunakan skema onshore agar dapat bermanfaat bagi rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Maluku.

“Ada usulan pembangunan kilang dengan fasilitas pengolahan LNG terapung (floating LNG/FLNG), itu tidak tepat. Karena itu sama saja membangun tiga kali panjang Monas. Tentu tidak tepat kalau dibilang biaya lebih murah,” tegas Rizal.

Ia menjelaskan, Australia saja masih melakukan ujicoba terhadap LNG terapung tersebut. Bahkan belum ada peneletian yang menyebutkan LNG terapung bisa berhasil dan bisa dibangun dengan biaya yang murah.

“Kita jangan mau jadi kelinci percobaan lagi, pejabat kita terima info mentah-mentah tanpa melakukan evaluasi,” ujarnya.

Untuk itu, menurut Rizal, yang paling tepat adalah menggunakan skema pipanisasi (onshore). Terkait adanya palung yang terlalu dalam sehingga disebut menghambat skema onshore, Rizal mengaku telah mendapatkan penelitian dari ahli geologi, membuktikan jika palung tersebut tidaklah dalam dan tidak akan menghambat proses pipanisasi.

“Kalau kita bikin di darat (pipanisasi) biayanya pasti lebih murah dari pada terapung,” tambahnya.

Dirinya mengaku tidak akan membiarkan peluang memperbaiki nasib rakyat Maluku terlewatkan begitu saja. Pasalnya, dengan onshore, Rizal optimis akan memberikan multiplier effect yang sangat besar bagi Maluku.

“Kalau dibikin terapung, diambil gasnya, dibawa ke luar rakyatnya enggak dapat apa-apa, peluang kesempatan emas nasib tiga juta orang Maluku enggak bisa diperbaiki, kalau dikelola lebih cerdas belajar dari masa lalu, diambil diekspor. dibiayai cost recovery terserah pabrik mau di laut dan di darat dibiayai dari negara,” tutupnya.

Sebagai informasi, Inpex corporation Jepang, selaku operator blok Masela berencana mengembangkan dan memproduksi gas dari lapangan Abadi melalui kilang FLNG berkapasitas 7,5 mtpa setara dengan juta ton per tahun.

Sesuai revisi PoD pertama blok Masela yang saat ini masih dalam tahap kajian oleh Kementerian ESDM, disebutkan biaya investasi untuk mengembangkan lapangan gas tersebut sebesar US$ 14,8 milyar. Sementara Final Investment Decisions (FID), atau keputusan final besaran investasi Kilang LNG terbesar di dunia itu baru akan diputuskan pada tahun 2018.  FLNG Abadi, blok Masela diprediksi mulai berproduksi pada tahun 2024, dengan tingkat produksi gas sebesar 1.200 mmscfd (juta kaki kubik per hari), dan kondensat sebesar 24.000 bpd (barrel per hari).

Inpex selaku operator menguasai 65 persen interest di blok Masela, sementara 35 persen sisanya dikuasai oleh Royal Dutch Shell. Berdasarkan data SKK Migas, disebutkan bahwa government take (hak pemerintah Indonesia) atas total cadangan gas blok Masela adalah sebesar 60 persen, dan 40 persen sisanya menjadi hak kontraktor.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby