Jakarta, Aktual.com — Sebaik-baiknya tingkah laku seorang wakil presiden adalah seperti yang dicontohkan oleh Bung Hatta.
Hatta bertentangan secara politik dengan Soekarno.
Hatta reformis, Soekarno revolusioner. Soekarno gandrung persatuan, Hatta memandang persatuan hanya alat.
Soekarno menghendaki negara kesatuan, Hatta ingin negara serikat.
Soekarno anti demokrasi parlementer, Hatta pendukung demokrasi parlementer.
Bung Karno menganggap pemungutan suara (voting) merupakan tirani mayoritas, Bung Hatta menganggap voting sebagai jalan mencapai mufakat.
Tapi Hatta mundur dari jabatannya secara baik-baik satu tahun setelah Pemilu ’55, yaitu Desember ‘56, sewaktu perbedaan pandangan dan sikap politik keduanya memuncak menyusul Demokrasi Terpimpin diberlakukan Soekarno.
Sultan HB IX menolak dijadikan wakil presiden untuk kedua kalinya oleh Soeharto karena alasan kesehatan. Sebagai raja yang bermartabat Sultan mundur secara terhormat, walaupun dia tau Soeharto memanfaatkan simbolisme raja Jawa pada dirinya untuk melegitimasi kekuasaan di awal pemerintahannya.
Di atas jabatan dan kepangkatan sikap tau diri itu sangat penting karena berkaitan dengan standar etika. Legacy moral Hatta dan Sultan HB IX sebagai wapres masih dipuji orang sampai sekarang.
Catatan penting lainnya kedua sosok wapres ini tidak memperdagangkan jabatan, meskipun Hatta berdarah saudagar sukses pada masanya, lahir dari keluarga kaya raya yang terbiasa dengan bisnis. Demikian pula Sultan HB IX yang dengan sabda, wibawa, dan kuasanya cukup hanya dengan jentikan jari bisa mewujudkan apa saja keinginan yang dia mau.
Mereka adalah contoh sosok pejabat yang menjaga moral dan etika, apalagi secara ketatanegaraan dalam sistem presidensil wapres memang hanya aksesoris atau ban serep belaka. Konstitusi kita tidak merinci tugas dan fungsi wapres. Wapres berfungsi kalau presiden berhenti atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.
Bagaimana dengan Wakil Presiden yang sekarang?
JK yang saudagar dan penguasa itu oleh banyak kalangan kini dianggap merupakan titik sentral dari rusuhnya persoalan di kabinet. JK menyerang Menko Rizal Ramli dengan persoalan nomenklatur.
Padahal Presiden Jokowi tidak mempersoalkan dan JK masuk dalam persoalan perbedaan pandangan mengenai Blok Masela bagaikan santo yang turun dari langit meski banyak hal membuktikan bahwa dia sebenarnya membela Sudirman Said (SS), Menteri ESDM yang melakukan pembangkangan terhadap Menkonya sendiri, Rizal Ramli.
Apa ‘’nomenklatur’’/tupoksi wapres JK?
Secara konstitusi ya sekedar ban serep, pemeran pengganti, dan aksesoris belaka, yang menurut aturan boleh berdiri di depan kalau presiden berhalangan.
Adapun serangan terhadap Menko Rizal Ramli oleh banyak kalangan kini dinilai bukan saja semakin masif dan sistematis, tetapi sudah menjurus kepada penzaliman dan pembunuhan karakter. Ini bisa terjadi karena kegiatan penzaliman dan pembunuhan karakter terhadap Rizal Ramli ditopang oleh kekuatan uang dan kepentingan bisnis.
Rizal yang sejak muda punya track record berpihak kepada wong cilik dan reputasi politiknya ditandai dengan keberanian melawan kezaliman rezim Soeharto, hingga dipenjarakan oleh Soeharto di penjara yang sama dengan Soekarno, penjara Sukamiskin, kini malah dizalimi hanya karena menginginkan perubahan, karena ingin mewujudkan Nawa Cita dan Tri Sakti yang dicita-citakan Jokowi dan merupakan warisan ideologis Sukarno.
Sungguh suatu ironi, kebenaran dan cita-cita perubahan untuk membawa Indonesia Raya menjadi lebih baik kini dihambat oleh kepentingan pengusaha-penguasa (Pengpeng) yang berkomplot dengan para anasir kepentingan asing di kabinet.
Catatan: Arief Gunawan
iniorangbiasa@yahoo.com
Dikutip dari halaman 1 koran Rakyat Merdeka, edisi Selasa, 8 Maret 2016.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan