Jakarta, Aktual.com — Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementeria Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Edwin Hidayat Abdullah meminta Menteri Koordinasi Kemaritiman, Rizal Ramli agar tidak membuat polemik atas pembangunan mega proyek 35.000 megawatt (MW) listrik yang akan menelan biaya sebesar Rp1.189 triliun.
Edwin mengatakan bahwa kebijakan tersebut memiliki dasar yang sangat kuat dengan Peraturan Presiden, sehingga Menteri Rizal tidak perlu lagi berpolemik dengan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Sudirman Said.
“Sudah ada perhitungannya dan Perpresnya ada, jadi kita support program ini untuk kesejahteraan rakyat, jangan ada perdebatan lagi antara pak Menko Maritim, Rizal Ramli dan pak Menteri ESDM, Sudirman Said,” tuturnya di Gedung Kementerian BUMN, Jumat (26/2).
Anehnya ucapan anak buah Rini Soemarno ini tidak memperhatikan ucapan Menteri ESDM yang beberapa pekan lalu saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI malah mengatakan target 35.000 MW sulit direalisasikan. Sudirman mengaku maksimal 80% dari target yang bisa tercapai sampai 2019.
Sebelumnya Menteri Rizal Ramli silang pendapat di muka publik dengan Menteri Sudirman Said atas proyek tersebut. Menteri Rizal mengatakan proyek yang di bawah naungan Menteri Sudirman Said tersebut akan membawa kerungian bagi PT PLN (Persero), bahkan bisa membuat PLN bangkrut.
Berdasarkan perhitungan Rizal, dalam 5 tahun ke depan Indonesia hanya butuh pembangkit listrik dengan kapasitas total 16.000 megawatt (MW), bukan 35.000 MW. Artinya bila dilanjutkan ada sekitar 21.000 MW yang menganggur.
“Kita melihat segala sesuatu dengan faktual dan logis kalau 35.000 MW tercapai 2019, maka pasokan jauh melebihi permintaan, ada idle (kelebihan) 21.000 MW. Di sana ada listrik swasta,” ungkap Rizal usai rapat koordinasi kelistrikan di Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Jakarta, Senin (7/9/2015).
Rizal mengatakan, dengan kelebihan kapasitas listrik 21.000 MW yang dibangun swasta atau Independent Power Producer (IPP), maka PLN tetap wajib membayar biaya listrik ke perusahaan swasta berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA), antara PLN dengan IPP. Artinya pakai tidak dipakai, listriknya PLN tetap wajib bayar ke perusahaan swasta.
“Maka PLN harus bayar 72% listrik dari listrik yang tidak terpakai,” tuturnya.
Rizal menambahkan, PLN telah menghitung perkiraan listrik yang akan dibayarkan dari 72 persen atau 21.000 MW yang tidak terpakai nantinya bila proyek 35.000 MW ini selesai dalam 5 tahun ke depan. Jumlahnya cukup fantastis, yakni mencapai US$ 10,763 miliar per tahun atau sekitar Rp150,6 triliun.
“Mau dipakai apa tidak PLN wajib bayar listrik yang tidak terpakai, 72 persen yang tidak terpakai dari proyek 35.000 MW itu nilainya tidak kurang dari USD10,763 miliar,” pungkas Rizal.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan