Jakarta, Aktual.com – Ketahanan bangunan menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara rawan terdampak gempa, hal itu yang didapatkan dari pembelajaran kejadian gempa 6,1 M d Jawa Timur pada 10 April 2021, demikian pembahasan di Rapat Koordinasi Tim Intelejensi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
“Ketahanan bangunan memang masih menjadi pekerjaan rumah besar di Tanah Air. Tetapi di setiap bencana, akan selalu ada hal unik yang dapat dijadikan pelajaran,” ujar Pelaksana teknis Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Abdul Muhari dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (30/4).
Abdul mengatakan BNPB membutuhkan infromasi dari stakeholder terkait kebencanaan untuk diintegrasikan dan dijadikan suatu kebijakan juga aksi nyata penanggulangan bencana. Seperti halnya gempa di Sulawesi Barat Januari 2021 lalu, Gempa berkekuatan 6,1 M tersebut juga menimbulkan kerusakan pada bangunan.
Menurut data yang dipaparkan Guru Besar Teknik Geofisika Universitas Brawijaya Profesor Adi Susilo, gempa yang terjadi di Jawa Timur akan memberikan efek besar terhadap suatu infrastruktur, jika amplifikasi atau penguatan gelombang adalah besar.
Lapisan batuan lunak seperti sedimen hasil endapan sungai, lapisan lempung, daerah bekas rawa-rawa di mana sendimennya belum sepenuhnya keras yang diamati kawasan terdampak paling parah seperti Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang memberikan amplifikasi gempa cukup besar.
Sementara menurut data yang didapat dan dikaji oleh guru besar Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Prof. Iswandi Imran, kebanyakan kerusakan terjadi pada bangunan pendek atau rumah tinggal. Prof Iswandi juga menyebutkan beberapa bentuk kerusakan bangunan yang tercatat akibat gempa tersebut seperti atap rumah roboh yang terbuat dari rangka atap baja ringan.
Masalahnya terdapat pada elemen rangka baja ringan yang terbuat dari komponen sangat tipis. “Ketebalannya bisa mencapai 0,4 mm, padahal standar minimum ketebalan atap yang diizinkan adalah 0,7 mm. Apabila di bagian atap tidak ada pengkaku pada bangunan maka ketika ada goncangan, terjadi gerakan yang tidak sinkron antara dinding yang saling berhadapan,” kata Iswandi.
Kerusakan lain yang kerap terjadi akibat gempa adalah kerusakan akibat benturan, dikarenakan tidak adanya jarak atau ruang antar bangunan. Iswandi mengatakan ada tidaknya ruang antar bangunan harus menjadi perhatian, dan apabila tidak ada maka akan menimbulkan masalah lebih lanjut jika terjadi gempa susulan dengan kekuatan lebih besar.
Selain itu, kerusakan bangunan lainnya yang banyak dijumpai adalah dinding yang roboh. Salah satu pemicunya adalah sistem struktur dinding yang tidak dilengkapi dengan elemen pengikat.
Sayangnya bangunan yang banyak ditemukan rusak berat akibat gempa masih memiliki sistem struktur dinding tanpa elemen pengikat. Sistem seperti itu sangat rentan terhadap guncangan.
Ke depan, Iswandi berharap seluruh bangunan yang berada di wilayah Selatan Jawa harus dinilai dan dievaluasi untuk mengantisipasi kejadian gempa yang mungkin terjadi. Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait penilaian bangunan tahan gempa ini sedang disusun dan diharapkan akhir tahun 2021 sudah bisa dimanfaatkan untuk kepentingan terkait.
Selain itu, perlu disusun peta kerentanan bangunan, khususnya bangunan hunian, di wilayah Selatan Jawa. Peta tersebut harus bisa terinformasikan kepada masyarakat sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam mengantisipasi dan mengurangi dampak dari gempa yang mungkin terjadi.
Terakhir, perancangan bangunan yang sesuai dengan SNI Gempa dan SNI Detailing perlu dilakukan secara konsisten.* (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin