Jakarta, Aktual.com – Sungguh diperlukan kemampuan ekstra untuk memahami nalar Pemerintah dalam menelurkan kebijakan. Sayangnya, seringkali rakyat tetap saja tidak mampu menangkap apa sejatinya karep Pemerintah dengan peraturan yang diterbitkan. Contoh yang paling anyar, barangkali, adalah aturan tentang harga batu bara dalam negeri atau domestic market obligasi (DMO) khusus untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Pada Jumat, 9 Maret 2018 silam, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengakhiri drama liarnya harga batubara. Lewat Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018, Jonan memutuskan harga batubara DMO untuk pembangkit sebesar UA$70/ton.
PT PLN (Persero) langsung menarik nafas lega. Maklum, dengan Kepmen tersebut, perusahaan setrum pelat merah tadi bisa menghemat biaya pokok produksi (BPP) listrik sekitar Rp20 triliun/tahun. Maklum, tingginya harga batubara benar-benar membuat PLN kelimpungan. Selama 2017 saja, biaya produksi listrik membengkak hingga Rp16,18 triliun. Ini pula yang menjelaskan laba PLN terjun bebas dari Rp10,98 triliun sampai September 2016 ke Rp3,06 triliun di periode yang sama 2017.
Dengan Kepmen tersebut, Pemerintah melalui Jonan sudah menyelamatkan PLN. Artinya, Pemerintah sudah menyelamatkan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Ini bukan sedang bluffing, lho. Andai beleid itu tidak kunjung terbit, maka PLN bukan cuma kelimpungan tapi bisa dipastikan bakal terkapar dalam tempo tidak terlalu lama.
Selama ini PLN dipaksa membeli batubara DMO sesuai harga pasar internasional. Pada Januari 2018, harga batubara berkalori 6.322 terkerek lagi di posisi US$95,54/ton alias sekitar Rp1.297.242/ton. Februari harganya naik lagi jadi US$100,69/ton. Dihitung dengan kurs Bank Indonesia (BI) hari ini, Senin, 19 maret 2018 yang Rp13.765, nilainya setara dengan Rp1.385.998. Jika dibiarkan berlanjut, maka tahun ini tambahan karena tingginya harga batubara mencapai Rp23,8 triliun. Kabarnya sampai awal Februari kemarin, PLN sudah rugi sekitar Rp2 triliun karena soal ini.
Coba bayangkan, apa jadinya kalau PLN benar-benar gulung tikar? Siapa yang bakal memproduksi dan memasok listrik. Jangankan bicara soal tugas mengaliri listrik bagi 5.000 desa yang masih gelap-gulita di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T). Lha wong untuk memasok 67 juta pelanggan PLN, termasuk industri, bisnis, dan 63 juta pelanggan rumah tangga saja wassalam.
Sampai titik ini, kita benar-benar berterima kasih kepada Pemerintah, khususnya kepada Menteri Jonan. Top markotops!
Tidak jadi berlaku surut
Tapi, rasa bungah itu ternyata cuma bertahan tiga hari. Pada 12 Maret dia merivisi Kepemennya. Lewat Kepmen nomor 1410 K/30/MEM/2018, Jonan mengubah diktum ketujuh dan kesembilan. Perubahan berdampak sangat fatal itu terjadi pada diktum kesembilan, mengubah masa mulai berlakunya keputusan yang sebelumnya berlaku surut sejak 1 Januari 2018, menjadi mulai berlaku sejak ditetapkan, yaitu 12 Maret 2018.
Buat PLN, perubahan ini memberi dampak cukup serius. Pada beleid pertama, bermakna kontrak-kontrak penjualan yang sudah berjalan sejak 1 Januari 2018 akan disesuaikan. Itulah sebabnya, dengan ketentuan ini sampai akhir tahun PLN bisa menghemat hingga Rp20 trilun.
Tapi karena diktum berlaku surut diubah menjadi mulai berlaku 12 Maret, maka BPP listrik naik Rp2 triliun/bulan. Dihitung dua bulan saja sesuai isi Kepmen, artinya PLN harus merogoh kocek lebih dalam Rp4 Triliun. Padahal biaya tersebut akan dipergunakan untuk elektrifikasi daerah 3T yang jumlahnya sekitar 5.000 desa.
Konyolnya, Kementerian ESDM beralasan perubahan Kepmen dari berlaku surut menjadi berlaku sejak tanggal dikeluarkan karena tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan. Alasan lainnya, karena tidak sesuai dengan administrasi Pemerintahan.
Sebagai rakyat, saya berhak bertanya, dong; kalau benar Kemenkeu tidak setuju alasannya apa? Takut kalau royalti yang dibayarkan perusahaan tambang batubara jadi turun? Turun dari berapa menjadi berapa? Bagaimana hitung-hitungannya?
Tidakkah ironi naiknya penerimaan royalti sebagai bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) cukup membuka mata para birokrat itu? Bagaimana mungkin mereka bisa puas dengan tambahan royalti Rp1,3 trilun sedangkan di sisi lain PLN terkuras hingga Rp16,18 triliun? Bagaimana para birokrat bisa senang, jika pada saat yang sama 10 besar petambang batubara mengeruk pendapatan lebih dari Rp60 triliun dari sini? Ada apa?
Lalu, tentang alasan tidak sesuai dengan administrasi Pemerintahan; tidak sesuai bagaimana maksudnya? Bukankah boleh saja dan sudah banyak contoh surat keputusan berlaku surut? Kalau sampeyan lupa atau pura-pura lupa, saya ingatkan kembali ada Undang Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 58 ayat (6) berbunyi, keputusan tidak dapat berlaku surut kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak warga masyarakat. Cetak tebal dan miring dari saya, agar siapa pun birokrat yang membacanya jadi paham dan tersentuh nuraninya.
Tidakkah Jonan atau siapa saja menyadari, bahwa revisi yang dia lakukan akan menyebabkan tertundanya target elektrifikasi 99% pda 2019. Itu artinya, perubahan Kepmen yang berlaku pada 12 Maret menyebabkan masyarakat di daerah 3T kehilangan kesempatan besar menikmati listrik dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ini zalim!
Sebagai rakyat, kembali saya mau bertanya PLN itu milik Pemerintah bukan, sih? Kalau iya, mengapa keputusan yang diambil justru seperti membela para pengusaha batubara? Takut keuntungan mereka berkurang? Khawatir harga saham mereka di bursa berguguran? Kalau iya, kenapa para birokrat itu tidak khawatir terhadap PLN? Bukankah dampaknya jauh lebih besar dan lebih buruk, bukan hanya bagi PLN tapi juga bagi rakyat Indonesia penikmat listrik?
Sekadar mengingatkan saja, Pasal 33 yat (3) konstitusi kita masih berlaku dan belum diamandemen (lagi). Di situ jelas-jelas diamanatkan, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi, sejatinya batubara adalah milik negara. Para petambang itu sekadar mendapat izin untuk menguasahakannya. Seharusnya negara punya kewenangan penuh dalam menetapkan aloksi dan harga. Pertimbangannya, untuk optimalisasi pendapatan negara, juga mengatur BPP kelistrikan yang tepat bagi kepentingan seluruh rakyat.
Pertanyaan terakhir, maaf, sebenarnya sampeyan kerja untuk siapa? Benar untuk negara?
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Artikel ini ditulis oleh: