Jakarta, Aktual.com – Dalam beberapa hari terakhir, publik kembali dikejutkan oleh rangkaian bencana yang terjadi di wilayah Sumatera mulai dari Aceh, Sumatera Barat, hingga Sumatera Utara. Duka mendalam menyelimuti keluarga korban. Banyak yang kehilangan orang tercinta, bahkan ada yang masih dinyatakan hilang. Rumah dan harta benda pun tak dapat diselamatkan.

Setiap bencana mengingatkan kita bahwa manusia, sekuat apa pun upayanya, tidak pernah benar-benar menguasai alam. Kita hanyalah hamba yang hidup dalam ketetapan dan kekuasaan Allah SWT. Namun musibah bukan sekadar fenomena geologis atau meteorologis; ia sekaligus menjadi cermin sosial, moral, dan spiritual bagi umat maupun para pemimpinnya.

Allah SWT berfirman:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ ۝٣٠

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri; dan Allah memaafkan sebagian besar (kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syura: 30)

Ayat ini mengingatkan bahwa musibah bukan hanya daftar kerusakan dan angka korban. Ia adalah ujian integritas, ujian atas akuntabilitas sistem, serta ujian bagi siapa pun yang memegang amanah publik.

Negeri Bergerak Cepat — Tetapi Siapa yang Seharusnya Tercepat? 

Hampir di setiap bencana, pola yang berulang tetap terlihat: masyarakat selalu bergerak paling awal. Relawan datang dengan kendaraan seadanya. Anak-anak muda memikul logistik tanpa komando resmi. Warga saling menolong sebelum koordinasi formal terbentuk.

Fenomena ini menjadi kebanggaan sekaligus menyisakan pertanyaan yang tidak boleh dihindari: mengapa spontanitas warga kerap lebih cepat daripada instruksi struktural?

Pertanyaan itu bukan bentuk perlawanan, tetapi refleksi. Kritik adalah bagian dari ikhtiar menjaga amanah, bukan upaya meruntuhkan wibawa.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda tersebut tidak memberi ruang bagi kelambanan ketika nyawa menjadi taruhannya.

Amanah Bukan Retorika, tetapi Tindakan 

Pemerintah tentu memiliki keterbatasan. Namun keterbatasan tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk menunda keputusan darurat. Birokrasi bukan alasan untuk memperlambat penyaluran bantuan. Dalam konteks kebencanaan, waktu bukan sekadar angka, waktu adalah nyawa. Setiap menit yang hilang adalah bagian dari amanah yang terabaikan.

Allah SWT menegaskan:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)

Amanah penyelamatan warga adalah tanggung jawab moral dan spiritual, bukan sekadar prosedur teknis pemerintahan.

Kritik Berwajah Doa

Redaksi memandang bahwa kritik masyarakat terhadap pemerintah dalam situasi bencana tidak boleh dipahami sebagai ancaman terhadap stabilitas, tetapi sebagai pengingat moral. Kritisisme yang lahir dari empati adalah bagian dari tradisi demokrasi sekaligus nilai dalam Islam: saling menasihati dalam kebenaran.

Namun kritik tersebut harus disertai doa dan itikad baik. Karena tujuan kritik bukan menjatuhkan, melainkan memperbaiki. Negara yang kuat bukan negara yang steril dari kritik, tetapi negara yang mau mendengarkan kritik.

Untuk pemerintah agar mempercepat kebijakan tanggap darurat di semua level pemerintahan. Memastikan koordinasi lintas lembaga berjalan terpadu, bukan parsial.
Menghilangkan hambatan administratif dalam distribusi bantuan. Menetapkan keselamatan warga sebagai prioritas absolut dalam setiap pengambilan keputusan.

Di tengah ujian yang berat ini, setidaknya kita meminta kepada Sang Pencipta dengan memanjatkan doa:

“Ya Allah, kuatkan saudara-saudara kami yang tertimpa bencana. Bimbing para pemimpin kami agar menjalankan amanah dengan jujur, cepat, dan adil. Lindungilah negeri ini dari bencana dan kelalaian.”

Wallahu’alam Bishowab

(Andy Abdul Hamid)

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain