Pengungkapan BO bergulir selama beberapa dekade dalam dunia ekonomi, keuangan dan pajak. Dengan demikian, Maryati mengungkapkan, keterbukaan BO menjadi tuntutan semua negara dan dorongan berbagai forum multilalteral global, baik G20, OECD, maupun forum ekonomi dan kerjasama pembangunan lainnya.

Hampir semua negara, termasuk Indonesia, sepakat dan mencantumkan ‘Keterbukaan BO’ sebagai komitmen dalam forum anti-corruption summits yang berlangsung di London 12 Mei 2016. Transparansi BO dianggap dapat mencegah terjadi korupsi, penghindaran pajak, pembiayaan terorisme, dan praktik pencucian uang.

“Dari konferensi yang sama, untuk sektor pajak dan transparansi fiskal, Indonesia menyatakan akan melaksanakan prinsip G20 baik standar integritas pengadaan maupun prinsip open data. Di bidang perpajakan, Indonesia berkomitmen melaksanakan inisiatif Common Reporting Standard dan Addis Tax Initiative,” terangnya.

Direktur Kerja Sama dan Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Muhammad Salman, menyatakan Perpres BO ini ditujukan untuk mengenali pemilik manfaat dari korporasi agar diperoleh informasi mengenai BO yang akurat, terkini dan tersedia untuk umum.

Menurut Salman, setidaknya ada 3 urgensi dari pengaturan dan penerapan transparansi BO yang dapat diindentifikasikan. Pertama, untuk melindungi korporasi dan pemilik manfaat yang beritikad baik. Kedua, untuk kepastian hukum atas pertanggungjawaban pidana. Ketiga, untuk efektivitas penyelamatan aset (asset recovery).

Ia menjelaskan, pada dasarnya ketentuan tentang transparansi pemilik manfaat korporasi, atau BO, telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Namun, ketentuan yang terdapat dalam UU tersebut sangat terbatas, belum mampu menangkap informasi pemilik manfaat dari korporasi yang ada di tanah air.

Hal terpenting dari Perpres BO, lanjut Salman, adalah adanya beberapa kewajiban bagi korporasi, yakni wajib menilai sendiri (self-assessment), menetapkan dan mengungkapkan pemilik manfaat dari korporasi terkait, baik orang perorangan yang tercantum maupun perorangan yang tidak tercantum dalam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.

Akan tetapi, orang perorangan yang dimaksud memiliki empat kemampuan atau kapasitas, yaitu (i) menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi; (ii) mengendalikan korporasi; (iii) berhak dan/atau menerima menfaat dari korporasi; serta (iv) langsung atau tidak langsung merupakan pemilik sebenarnya dana atau saham korporasi.

“Karakteristik pemilik manfaat pada tiap-tiap jenis korporasi berbeda-beda dan diatur secara khusus dan terperinci dalam Perpres ini. Korporasi melanggar ketentuan Perpres ini akan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan,” sebut Salman dalam keterangan tertulisnya pada 8 Maret 2018.

Lebih lanjut, Perpres yang penyusunannya diinisiasi oleh PPATK sejak November 2016 ini ditegaskan Salman tidak akan mengganggu iklim investasi dan kemudahan berusaha (ease of doing bussiness). Sebab, adanya aturan informasi mengenai BO bukan salah satu syarat untuk memperoleh pengesahan pendirian korporasi oleh otoritas yang berwenang.

BO Senjata Baru Kejar Finansial Negara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby