Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyebut, kondisi saat ini kabinet Pemerintahan Jokowi terbelah menjadi dua bagian, yakni orang-orang yang pro China dengan orang-orang yang selama ini dibesarkan Amerika Serikat.

“Pertarungan kedua kubu ini sangat terasa dalam perebutan berbagai proyek di dalam ESDM seperti perebutan mega proyek pembangkit listrik, kilang minyak dan lain sebagainya. Sekarang pertarungan ini sudah semakin keras karena memperebutkan sebuah perusahaan raksasa, Freeport Indonesia,” papar Daeng kepada Aktual.com, di Jakarta, Senin (20/2).

Freeport sendiri selama ini perannya besar bagi pasokan konsentrat tembaga, emas, dan perak ke negara asalnya, AS. Takbhanya Negeri Paman Sam, juga sekutu-sekutu AS di Asia khususnya.

Akan tetapi, kata dia, belakangan ini perusahaan itu telah beroperasi dan menyumbangkan lebih dari US$16 miliar dalam periode 1992 sampai dengan 2015 lalu. Namun ada kebijakan, perusahaan kontrak karya oleh pemerintah Indonesia dianggap gagal dalam menjalankan UU Mineral dan Batubara (Minerba).

“Sehingga dipaksa mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Jika tidak, maka perusahaan ini tidak boleh lagi melakukan ekspor konsentrat atau bahan mentah,” cetus dia.

Serangan ini, ditengarai berasal dari kubu yang memang ingin membuat Freeport tidak betah. Penghentian KK dan perubahan menjadi IUPK jadi dilema bagi Freeport. Dan Pemerintah sesungguhnya tahu, seluruh persyaratan yang diajukan akan menjadi masalah besar bagi Freeport karena belum siapnya infrastruktur pendukung.

“Ada sinyalemen dari salah satu kubu dalam pemerintahan Jokowi yakni Kementrian terkait yang tengah mengatur skenario agar penguasaan Freeport diserahkan kepada China. Dan tampaknya China sendiri memang sangat berkepentingan untuk menguasai perusahaan tembaga ini,” jelasnya.

Mengapa? Kata dia, China merupakan negara pengkonsumsi lebih dari separuh konsentrat tembaga yang dipasok oleh seluruh perusahaan di dunia ke kawasan Asia.

“Jadi ada berbagai skema yang bisa digunakan. Pada intinya, bagaimana China mengambil alih Freeport, mengingat negara China mengkonsumsi lebih dari separuh konsentrat tembaga di kawasan Asia. Mereka tentu saja menginginkan kontrol pasokan dalam rantai suplai yang lebih pasti,” pungkas Daeng.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan