Hartiningsih, karyawan swasta yang berdiri menunggu angkutan umum di trotoar depan halte Transjakarta Kota Tua, Jakarta, spontan menutup hidung dan mulutnya menggunakan sapu tangan ketika bus kota dengan asap pekat dari knaplotnya melintas.
Saat itu baru sekitar pukul 08.00 WIB, tetapi matahari sudah bersinar terik. Hartiningsih pun sesekali menyeka peluh, seraya matanya melongok satu per satu kendaraan angkot, berharap ada yang akan melewati tempat kerjanya di kawasan Tanjung Priok.
Hati-hati ISPA Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emmawati mengatakan ketika seseorang terpapar gas buang kendaraan bermotor yang sudah di atas ambang batas akan potensial terserang infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA, bahkan ketika terhirup pada anak dalam waktu lama akan terjadi “down grade IQ” atau penurunan derajat intelejensi.
Pernyataan Emmawati bukan tanpa dasar. Pada periode Januari hingga Oktober 2014 jumlah penderita ISPA di Jakarta berdasarkan data puskemas mencapai 17.191 orang. Jumlah penderita ini terdistribusi di Jakarta Pusat sebanyak 1.001 orang, Jakarta Utara 2.511, Jakarta Barat 5.711, Jakarta Selatan 3.932, Jakarta Timur 4.019 dan Kabupaten Kepulauan Seribu sebanyak 17 orang.
“Karena itu upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengendalikan pencemaran itu oleh instansi teknis. Bila tidak kondisi udara di Jakarta akan semakin menurun kualitasnya,” imbuhnya.
Dia pun berharap pengendalian pencemaran udara tidak hanya menangani sumber pencemar kendaraan bermotor tetapi juga kegiatan masyarakat yang gemar membakar sampah karena dampaknya buruk bagi kesehatan bila asapnya secara terus menerus terhirup.
Meski begitu, kata dia, di masyarakat Jakarta secara perlahan mulai tampak menggunakan masker ketika hendak keluar, naik kendaraan umur, berjalan kaki, berada di tempat fasilitas publik atau mengendarai kendaraan bermotor.
“Tentu ada maksud ketika orang menggunakan masker yaitu agar terhindar dari sakit yang diakibatkan oleh udara kotor. Kesadaran ini harus terus dimunculkan,” ujarnya.
Reduksi pencemaran udara Pakar Lingkungan Universitas Indonesia Mohammad Hasroel Thayib mengatakan Provinsi DKI Jakarta membutuhkan pohon penyerap karbon dioksida yang menjadi salah satu parameter pencemaran udara, dan tidak sekadar menanam pohon pelindung di ruang terbuka hijau (RTH) yang telah tersedia.
“RTH mempunyai peran sebagai pengubah energi cahaya matahari menjadi energi atau oksigen dan tidak mengubahnya menjadi energi panas. Jadi ada dua peran yang berbeda yaitu sebagai penyerap panas dan mengubah energi radiasi matahari menjadi oksigen,” lanjutnya di Jakarta.
Perbedaan peran tersebut, sambung dia, juga akan berdampak pada perlakuan jenis pohon yang ditanam, apakah sekadar perindang atau pohon yang mampu menyerap polutan di udara.
Khusus untuk pohon penyerap CO2, pemerintah disarankan menanam pohon khusus seperti Ginkgo Biloba yang banyak ditanam di Jepang yang punya peran besar meminimalkan pencemaran udara, sementara pohon-pohon lainnya yang saat ini ditanam seperti angsana atau pinus lebih sebagai pohon peneduh dan kurang menyerap CO2.
“Saya mencoba menghubungi teman-teman yang ada di Jepang agar bisa mendatangkan biji Ginkgo Biloba ke sini untuk dikembangbiakkan. Mungkin agar sulit berkembang karena berbeda habitatnya,” katanya.
Walaupun agak sulit dikembangkan di Indonesia atau Jakarta, namun dia optimistis dengan peran teknologi yang dimiliki Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dapat dilakukan mutasi sehingga bisa bisa beradaptasi dengan lingkungan Indonesia.
Sebab menurut dia dengan kondisi pertumbuhan kendaraan di Jakarta sebesar 8-12 persen per tahun, peluang meningkatnya pencemaran udara yang diakibatkan sektor transportasi tidak bisa dihindarkan.
“Mudah-mudahan ini bisa menjadi solusi. Tak perlu meniadakan pohon yang telah ditanam saat ini, tapi perlu menyisipkannya dengan pohon penyerap CO2. Apalagi bila dilihat dari udara hanya sedikit ruang terbuka hijau yang kelihatan,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI bukan tanpa upaya mengurangi pencemaran udara di Jakarta. Beberapa program yang dilakukan di antaranya, melaksanakan hari bebas kendaraan bermotor bersama dengan koalisi lembaga swadaya masyarakat di ruas jalan Sudirman hingga MH. Thamrin selama enam jam. Di ibu kota, program ini dilaksanakan sebanyak empat kali dalam sebulan sedangkan di masing-masing kota dua kali sebulan.
Selanjutnya, uji emisi dan perawatan kendaraan bermotor dengan menyiapkan bengkel layanan di seluruh wilayah, menerapkan kawasan parkir berstiker lulus uji emisi yang mewajibkan pengguna kendaraan bermotor menguji selama enam bulan sekali.
Selain itu uji emisi teguran simpatik di jalan raya dan kawasan-kawasan komersial dan pemberlakuan pajak progresif. Di pesisir pantai Jakarta Utara pemerintah daerah juga menggiatkan penanaman bakau yang berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida.
“Sekarang sudah dilakukan pengalihan bahan bakar fosil ke bahan bakar gas. Bahkan Pemprov DKI telah menarik mobil dinas pejabat dan menggantinya dengan pemberian uang transportasi. Kebijakan ini akan dilaksanakan pada bulan depan. Ini sebuah langkah hebat sekaligus juga menghidupkan transportasi umum,” kata Kepala Pelestarian dan Tata Lingkungan Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rusman Sagala.
Dia berharap, uji gas buang akan menjadi prasyarat perpanjangan surat tanda nomor kendaraan.
Apabila udara di Jakarta sehat, warga tidak perlu lagi menggunakan masker ketika mengendarai kendaraan bermotor, naik kendaraan umum, menunggu bus Transjakarta di halte, jalan sehat di pagi dan sore hari, berwisata atau rekreasi ke tempat hiburan.

Artikel ini ditulis oleh: