Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) memindahkan kotak suara Pemilu 2024 di gudang logistik KPU Jakarta Pusat, GOR Cempaka Putih, Senin (5/2/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/tom.

Pangkalpinang, Aktual.com – Pada November 2024, sejarah kecil tapi menggema tercipta di Kota Pangkalpinang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik lokal, kotak kosong mengalahkan pasangan calon tunggal dalam pemilihan wali kota. Hasil rekapitulasi menunjukkan kotak kosong meraih 48.528 suara atau 57,89 persen, meninggalkan pasangan petahana Molen–Hakim dengan hanya 35.177 suara atau 42,02 persen. Kekalahan itu bukan sekadar angka, tapi tanda frustrasi kolektif warga atas terbatasnya pilihan.

Menanggapi fenomena tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Pangkalpinang menetapkan digelarnya Pilkada Ulang pada 27 Agustus 2025. Tidak lagi tunggal, kini warga disuguhi empat pasangan calon dengan karakter, kekuatan, dan pendekatan politik yang berbeda-beda. Persaingan menjadi terbuka, dan kali ini tak ada yang boleh menganggap enteng suara diam.

Empat Poros Baru: Dari Mandiri hingga Koalisi Kuat

Pasangan pertama yang mendaftar adalah Eka Mulya Putra dan Radmida Dawam, maju lewat jalur independen dengan mengantongi 17.033 dukungan KTP. Mereka mengusung tagline “Merdeka” dan tampil sebagai simbol keberanian untuk keluar dari dominasi partai. Eka menyebut keikutsertaan mereka sebagai upaya mewujudkan kepemimpinan yang lebih dekat dan bebas dari kepentingan politik besar.

Tak lama setelah itu, Maulan Aklil alias Molen kembali masuk gelanggang. Kali ini ia menggandeng Zeki Yamani, didukung penuh Partai Gerindra yang memiliki 17.360 suara hasil Pileg 2024. Molen mengakui kekalahan sebelumnya sebagai evaluasi besar.

“Kami telah mengevaluasi dengan seksama. Kali ini kami lebih siap dan lebih mendengar,” ujarnya.

Sementara itu, pasangan Basit Sucipto dan Dede Purnama datang membawa dukungan dari lima partai: Golkar, NasDem, PKS, Partai Ummat, dan Partai Buruh. Dengan total 45.238 suara sah dari partai pengusung, mereka tampil sebagai alternatif yang menjanjikan, dengan kombinasi jaringan partai dan pendekatan akar rumput yang intensif.

Namun kekuatan terbesar secara struktural ada di tangan pasangan Saparudin Masyarif dan Dessy Ayutrisna. Diusung oleh enam partai besar: PDIP, PKB, PAN, PPP, Demokrat, dan PKN, mereka mengantongi 57.762 suara sah hasil Pemilu 2024. Kombinasi antara dukungan partai dan figur teknokrat menjadi keunggulan tersendiri.

Prof. Udin dan Gagasan tentang Tata Kelola

Saparudin Masyarif, yang lebih dikenal sebagai Prof. Udin, menonjol bukan hanya karena jumlah dukungan politik, tapi juga karena pendekatan kampanye berbasis data dan pelayanan publik. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik harus dimulai dari cara kerja birokrasi.

“Ini bukan soal besar kecilnya dukungan partai saja, tetapi bagaimana menghadirkan tata kelola yang berpihak dan transparan,” ujar Prof. Udin dalam konferensi pers usai pendaftaran. Ia memandang Pilkada ulang ini sebagai momentum penting untuk mengembalikan kepercayaan publik pada politik.

Berbeda dari kandidat lain yang mengandalkan kekuatan elektoral atau popularitas, Prof. Udin memosisikan diri sebagai pemimpin yang mengedepankan prinsip efisiensi, pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan, serta pembenahan pelayanan dasar seperti pendidikan dan administrasi warga. Dalam pidato kampanyenya, ia menyoroti pentingnya menguatkan peran RT/RW sebagai fondasi dari sistem pemerintahan yang responsif.

Dengan karakter dan pendekatan yang berbeda, keempat pasangan calon ini menghadirkan pilihan riil bagi warga Pangkalpinang. Tapi sejarah baru yang tertulis lewat kotak kosong memberi pelajaran penting, bahwa suara publik tidak bisa dianggap remeh, bahkan jika tak bersuara sekalipun.

Kini, pertanyaan besar menggantung di udara: siapa yang mampu meyakinkan rakyat bahwa mereka bukan hanya layak dipilih, tetapi juga layak dipercaya?

Pilkada Ulang 2025 bukan sekadar ulangan prosedur elektoral, tetapi ujian atas kepercayaan yang pernah runtuh. Dan dalam politik, kepercayaan adalah modal yang tak bisa dibeli, tapi hanya bisa diperjuangkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto