Jakarta, aktual.com – Indonesia Police Watch (IPW) turut mengomentari rencana pengembalian Deputi Penindakan Irjen Pol Firli ke Polri. Menurutnya hal tersebut adalah gambaran bahwa lembaga antirasuah itu kini penuh intrik dan manuver politik serta semakin membuka front terhadap kepolisian.
Menurut Ketua Presidium IPW Neta S Pane, pengembalian anggota Polri dari KPK ke institusi asalnya adalah hal yang biasa, jika tidak ada insiden. Namun rencana pengembalian Deputi Penindakan KPK ke polri kali ini terkesan sarat kepentingan pihak tertentu, mengingat sebelumnya ada manuver dan gejolak di internal KPK.
“Ini sangat tidak sehat dan terkesan pimpinan KPK kalah oleh manuver pihak tertentu di internal KPK. Para pimpinan KPK seperti anak kos yang tidak mengakar di KPK, padahal para pimpinan KPK dipilih dari hasil seleksi yang ketat dengan biaya negara,” tuturnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa, (30/4).
Ia menilai, dengan adanya kasus ini terkesan KPK sudah menjadi “kerajaan” pihak tertentu. Ini sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebelum adanya rencana pengembalian Deputi Penindakan itu, di KPK muncul kasus Surat Terbuka yang ditandatangani sejumlah orang.
Dengan adanya surat terbuka itu, IPW menilai ada hal yang aneh di KPK. Seharusnya para pimpinan KPK menjelaskan secara transparan, seperti apa kebenaran Surat Terbuka tersebut dan bagaimana kondisi KPK yang sebenarnya saat ini. Bukannya menjelaskan secara transparan soal kondisi di internal KPK, yang mana Pimpinan KPK malah akan mengembalikan Direktur Penindakan KPK ke polri.
“Apakah pengembalian ini adalah gambaran bahwa Direktur Penindakan tersebut merupakan “biang masalah” konflik internal KPK, atau justru para Pimpinan KPK tidak berdaya menghadapi manuver dan tekanan pihak tertentu di internal KPK sehingga Direktur Penindakan itu terpaksa dikorbankan. Semua ini harus transparan dijelaskan Pimpinan KPK terhadap masyarakat. Sehingga masyarakat paham terhadap kondisi internal KPK yang sesungguhnya, mengingat lembaga antirasuah itu dibiayai negara dari pajak rakyat,” katanya.
Neta berharap jangan sampai pimpinan KPK dikebiri dan tidak berdaya menghadapi manuver politik sejumlah oknum di internalnya, sehingga figur demi figur dikorbankan.
Lebih lanjut Neta berpendapat, surat terbuka itu merupakan sebuah gambaran nyata bahwa KPK tidak solid dan sedang terpecah belah dan sedang diadudomba oleh sejumlah pihak yang merasa full power. Kondisi ini akan sangat berbahaya bagi KPK yang saat dibentuk diharapkan solid dan mampu memberantas korupsi di negeri ini.
Neta menambahkan, melihat surat terbuka itu tergambar jelas bahwa musuh utama oknum tertentu di internal KPK adalah penyidik polri. Jika kondisi ini terus berlanjut diprediksi bakal terjadi perang terbuka di internal KPK antara penyidik polri dan penyidik non polri. Akan terjadi polarisasi yang berbahaya bagi masa depan penegakan hukum yang dilakukan KPK. Apalagi para penyidik yang direkrut atau digeser melalui tanpa tes, meski sebelumnya yang bersangkytan adalah penyelidik.
“Kondisi menghalalkan cara yang bernuansa politis ini tentu tidak boleh ditolerir karena sangat berbahaya bagi masa depan KPK dan keputusan hukum yang dibuatnya tentu akan sulit dipertanggungjawabkan,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyarankan agar KPK dibubarkan saja jika penuh intrik dan bermain di ranah politik. Sebab, jika kondisi ini dibiarkan KPK akan lebih buruk dari kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan pemberantasan korupsi.
“Padahal KPK dibentuk karena publik tdk percaya pada kepolisian dan kejaksaan. Jika ternyata KPK tidak solid, cakar-cakaran, main politik politikan dan tebang pilih sebaiknya dibubarkan saja,” cetusnya.
Ia juga menyarankan agar Komisi III DPR RI yang berfungsi mengawasi kinerja KPK untuk memanggil semua pimpinan KPK untuk menjelaskan aksi cakar-cakaran di internal KPK ini.
“Bagaimana mungkin KPK yang penuh intrik politik dan cakar cakaran di internalnya bisa diharapkan memberantas korupsi dengan benar,” tuntasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin