Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti mengatakan pemberian ijin ekspor mineral mentah melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 oleh pemerintah akan menimbulkan perlakuan diskriminatif bagi investor yang telah membangun smelter di Indonesia.
Belum lagi pengenaan pajak ekspor pada persentase tertentu yang melekat pada kebijakan relaksasi juga teridentitikasi sebagai export restriction dalam konteks non-tariff barriers. Hal ini tentunya membuka potensi Indonesia dapat kembali diprotes di WTO ataupun digugat oleh investor asing ke lembaga arbitrase internasional dengan menggunakan mekanisme International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
“Ketika kebijakan larangan ekspor konsentrat diterapkan, Indonesia diprotes keras di WTO, bahkan pernah digugat ke ICSID oleh Newmont. Tetapi jangan menganggap penerapan relaksasi ekspor mineral mentah saat ini akan menghilangkan protes tersebut. Potensi digugat di WTO ataupun ICSID sangat terbuka terhadap Indonesia akibat dan penerapan kebijakan yang diskriminatif tersebut,” tegas Rachmi.
Disamping itu Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah Ismail menambahkan bahwa, kebijakan pelonggaran eksor hingga 2021 ini akan menguras habis-habisan cadangan mineral mentah Indonesia.
Kemudian rantai kerusakaan lingkungan hidup dan ancaman keselamatan rakyat juga akan semakin panjang. Rencana revisi ini juga membuat kehilangan potensi pendapatan nilai tambah dari pembangunan smelter.
“Pemerintah mesti tobat meninggalkan ketergantungan pada ekonomi palsu pertambangan yang melanggengkan pengurasan kekayaan alam dan mengancam keselamatan rakyat. Jika pelanggaran-pelanggaran ini tidak dihentikan, maka Presiden Jokowi sedang membuktikan dirinya sebagai ‘pelayan’ industri tambang,” pungkas Johansyah.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan