Oleh: Saiful Bahri
Jakarta, aktual.com – Semua yang berinteraksi dengan al-Quran selalu menjadi yang terbaik. Malaikat Jibril, Sang malaikat pembawa wahyu al-Quran menjadi malaikat terbaik. Nabi Muhammad saw, menusia yang menerima wahyu al-Quran menjelma menjadi manusia terbaik. Bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, menjadi bulan mulia dan dimuliakan, bulan terbaik. Malam yang dijadikan waktu turunnya al-Quran menjadi malam mulia, lailatul qadar, malam terbaik sepanjang masa. Maka, interaksi dengan al-Quran sesungguhnya merupakan standar memanfaatkan peluang kebaikan di bulan Ramadan.
Para sahabat dan ulama benar-benar memperbaiki interaksinya dengan al-Quran selama bulan Ramadan. Terdapat ratusan kisah yang meriwayatkan kondisi mereka dalam berinteraksi dengan al-Quran. Umumnya mengisahkan tentang seringnya mereka murajaah dan tilawah al-Quran.
Maka, kebaikan tilawah al-Quran ini menjadi sesuai yang penting untuk diperhatikan. Semakin sering seseorang membaca dan melakukan tilawah al-Quran berarti akan semakin memproteksinya dari kesibukan-kesibukan yang bisa mengurangi pahala puasanya. Lisan yang disibukkan dengan al-Quran akan terpalingkan dari berghibah atau berbicara yang kurang bermanfaat. Lisan yang mengikuti kebiasaan membaca al-Quran akan relatif lebih mudah berdzikir kepada Allah. Lisan yang mudah berdzikir dimungkinkan membawa qalbu untuk mudah terkait dan terhubung mengingat Allah.
Tak heran, jika para para pendahulu as-salaf ash-shalih menjadikan al-Quran sebagai standar kehidupan hariannya. Abdullah bin Mas’ud misalnya, Ketika beliau ditanya oleh orang tentang waktu, maka beliau menjadikan al-Quran sebagai standarnya. Diriwayatkan bahwa ketika bulan Ramadan, Rasulullah memerintahkan Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum untuk mengumandangkan adzan di waktu subuh sebanyak dua kali; adzan pertama sebagai tanda waktu sahur akan segera berakhir dan adzan kedua pertanda masuknya waktu subuh. Abdullah bin Ma’sud ditanya berapa jarak waktu antara dua adzan tersebut. Ibnu Mas’ud menjawab, “qadra khamsîna âyah” (sekitar lima puluh ayat). Maknanya, jarak kedua adzan tersebut adalah dengan mebaca ayat al-Quran sekitar limapuluhan ayat.
Jika kita hendak meniru Ibnu Mas’ud maka jadikanlah al-Quran patokan dan standar waktu hidup kita, misalnya saat tanggal satu dimulai maka kita membaca juz satu, ketika tanggal sepuluh berarti bacaan al-Quran kita sampai di juz sepuluh dan seterusnya.
Abdullah bin Mas’ud berpesan agar merasakan spirit al-Quran hadir membersamai kehidupan kita dan berpengaruh pada semua aktivitas kehidupan kita. “Bacalah al-Quran seolah ia diturunkan kepadamu”. Karenanya, Ibnu Mas’ud tak hanya membaca al-Quran dengan lisannya, ia membaca al-Quran dengan qalbu dan seluruh inderanya. Rasulullah saw sampai-sampai memintanya secara khusus untuk membacakan al-Quran di hadapan beliau. Bacaan al-Quran Ibnu Mas’ud menggetarkan dan menghidupkan jiwa.
Raihlah kebaikan dan keberkahan hidup Bersama al-Quran. Agar kebaikan bulan Ramadan terus dan tetap hadir di sepanjang waktu. Terus menginspirasi hadirnya kebaikan-kebaikan dan kemanfaatan dari diri kita. Semoga Allah jadikan kita termasuk ke dalam kafilah ahlul Quran, Allahumma aamiin.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain