Kampanye Donald Trump yang anti-Muslim awalnya dikhawatirkan akan memperburuk posisi Muslim Amerika pasca aksi teror Paris. Namun, reaksi balik terhadap Trump justru menguntungkan kaum Muslim, yang citranya sempat dirusak oleh ISIS.
Aksi teror kelompok radikal-ekstrem ISIS (Islamic State of Iraq dan Syria) di Paris, Perancis, dan beberapa negara lain di Timur Tengah dan Afrika, bulan November 2015, betul-betul meraih “sukses besar” dalam merusak nama Islam dan memojokkan kaum Muslim. Seperti sudah diduga, mayoritas dari 1,6 miliar kaum Muslim dunia –yang tidak ada hubungannya dengan teror– justru tercoreng namanya, dan jadi sasaran kebencian di sejumlah negara gara-gara ulah ISIS.
Salah satu negara itu adalah Amerika Serikat. Kebetulan, tak lama setelah aksi teror Paris juga terjadi serangan dengan dengan senjata api di San Bernardino, California, yang dilakukan oleh pasangan Muslim. Momen ini dengan cepat dilahap oleh sejumlah kandidat, yang ingin maju dalam pemilihan presiden (pilpres) AS mendatang. Salah satunya adalah pengusaha Donald Trump.
Sejumlah retorika kasar, personal, diskriminatif, rasis, dan tidak konstitusional dilancarkan oleh Donald Trump, demi memenuhi ambisinya menjadi Presiden AS lewat jalur nominasi Partai Republik. Ia membikin heboh dengan kampanye murahan, namun cukup sukses dalam mengangkat popularitasnya. Trump mengusulkan pelarangan Muslim masuk ke AS dengan dalih menangkal terorisme.
Ucapan itu berdampak secara internasional. Pemerintah AS pun jadi sibuk membantah ucapan Trump, dengan mengatakan bahwa ucapan Trump itu tidak mewakili nilai-nilai Amerika. Komentar Trump, menurut Gedung Putih, bisa membuatnya didiskualifikasi dari ajang pilpres AS.
Mengaku Meniru Roosevelt
Trump membela idenya untuk melarang semua Muslim memasuki AS. Menurutnya, idenya itu tak beda dengan kebijakan Presiden Franklin D. Roosevelt yang mengawasi ketat orang-orang asal Jepang di interniran, usai serangan terhadap Pearl Harbor pada masa Perang Dunia II. ”Kami tidak punya pilihan selain melakukan hal ini,” lanjutnya.
Apapun dalih Trump, api kemarahan sudah terlanjur menjalar. Saingannya kandidat dari kubu Partai Demokrat, Hillary Clinton, menentang keras usulan Trump. Mantan ibu negara itu pada 12 Desember 2015 menyebut, apa yang dilontarkan konglomerat real-estate itu bukan hanya memalukan dan keliru, tapi juga “berbahaya”. Kata Hillary Clinton, “Dengan pernyataannya, Trump justru memberikan ‘alat propaganda’ bagi ISIS, untuk merekrut lebih banyak pengikut dari Eropa dan AS.”
Tokoh-tokoh Muslim Amerika, termasuk legenda tinju Muhammad Ali, mengecam ucapan Trump. Di dunia internasional, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, menyatakan komentar Trump sebagai sikap memecah belah. “(Ucapan Trump itu) tidak membantu dan cukup salah,” katanya. Presiden Iran, Hassan Rouhani, juga mengecam komentar Trump dan menilai AS telah menciptakan terorisme.
Di Edinburgh, pemerintah Skotlandia mencoret nama Trump dari daftar duta bisnis mereka. Menteri Utama Skotlandia Nicola Sturgeon pada 11 Desember 2015 secara resmi mencabut gelar Donald Trump sebagai duta bisnis untuk Skotlandia. Sebelum aksi Sturgeon, sekitar 200 ribu orang di Britania Raya telah menandatangani petisi, yang menuntut agar Pemerintah Inggris melarang Trump berkunjung ke negaranya.
Berdampak ke Bisnis Trump
Ucapan Trump bukan cuma berdampak politis, tetapi juga merugikan bisnis Trump sendiri di negara-negara Timur Tengah, yang mayoritas populasinya adalah warga Muslim Arab. Nama dan foto Trump yang terpasang di sejumlah papan reklame di Dubai, Uni Emirat Arab, telah diturunkan pada 11 Desember 2015. Pada papan reklame dekat lokasi proyek pembangunan “Akoya” itu sebelumnya menampilkan foto Trump dan putrinya Ivanka, serta tulisan “Trump International Golf Club.”
Di daerah itu memang menjadi lokasi proyek pembangunan dua lapangan golf dan sebuah perumahan, bernilai miliaran dollar AS. Proyek yang menjadi tanggung jawab Damac Properties itu menjalin kerja sama dengan Trump, dengan menggunakan brand sang kandidat capres AS untuk proyek pengembangan tersebut. Rantai pasar swalayan Lifestyle telah menghentikan penjualan berbagai produk lampu, cermin, dan kotak-kotak perhiasan Trump Home.
“Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan terakhir yang diucapkan oleh kandidat presiden (Donald Trump) di media AS, kami telah menghentikan penjualan semua produk dari jajaran produk rumah tangga Trump Home,” ujar CEO Landmark, induk rantai Lifestyle, Sachin Mundhwa. Ini adalah salah satu grup retail terbesar di Timur Tengah, dengan 190 pasar swalayan di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Pakistan.
Miliuner Saudi, Pangeran Alwaleed bin Talal, menyerukan pada Trump agar mundur saja dari pencalonan pilpres. “Anda bukan hanya memalukan buat GOP (Partai Republik), tetapi seluruh Amerika. Mundurlah dari pemilihan presiden AS karena Anda tak akan pernah menang,” tulis Alwaleed di akun Twitternya. Akun Alwaleed memiliki lebih dari empat juta pengikut, atau hampir sama populernya dengan akun Twitter Trump.
Tapi Trump langsung membalas kritik itu lewat akun Twitternya. “Pangeran bebal @Alwaleed_Talal ingin mengontrol para politisi AS dengan uang ayahnya. Dia tak bisa melakukannya jika saya terpilih (jadi presiden),” tulis Trump.
Reaksi dari Kalangan Yahudi
Reaksi negatif terhadap Trump, secara tak terduga bukan hanya berasal dari kalangan Muslim, tetapi juga dari kalangan Yahudi. Tanpa diduga oleh Trump sendiri, kalangan Yahudi dan Muslim Amerika –yang biasanya berselisih paham soal isu Israel-Palestina—kini bersatu pendapat dalam mengecam Trump.
Ini berawal dalam sebuah wawancara. Waktu itu Trump ditanya, apakah dia berpikir bahwa pemerintah AS harus mengeluarkan kartu identitas atau lencana identitas khusus untuk Muslim Amerika, sebagai cara untuk melacak dan memisahkan mereka.
Itu tampaknya hanya sebuah pertanyaan pancingan. Namun Trump dengan cepat menelan umpan itu. Trump bahkan setuju untuk melacak tindakan kaum Muslim di database. Tindakan ini jelas-jelas melanggar terlalu banyak aspek dalam konstitusi AS.
Jawaban “ya” dari Trump membuat kalangan Yahudi menganggap, pendekatan Trump terhadap Muslim Amerika sangat mirip dengan pendekatan tokoh Nazi Jerman Adolf Hitler terhadap kaum Yahudi, semasa Perang Dunia II. Hitler memaksa warga Yahudi mengenakan tanda bintang emas untuk menstigmatisasi mereka, dan akhirnya menciptakan jalur untuk berbuat yang jauh lebih buruk terhadap kaum Yahudi. Dari sinilah, kelompok-kelompok Yahudi mulai satu suara dengan kaum Muslim, dan mereka sama-sama mengecam Trump.
Bahkan suara menentang Trump juga muncul dari kalangan Yahudi di Israel. Trump awalnya merencanakan untuk berkunjung ke Israel, namun melihat gelombang penentangan itu ia menunda kunjungannya ke Israel pada 10 Agustus 2015. Ia mengatakan, kunjungan itu akan dilakukan kapan-kapan ketika ia sudah menjadi Presiden AS.
Menghadapi tekanan reaksi negatif, Trump berusaha mengalihkan kesalahan ke pihak media. Lewat akun Twitternya, Trump mengklaim, semua kehebohan itu hanyalah hasil rekayasa media. Tetapi rekaman wawancara dengan Yahoo News jelas menunjukkan bahwa Trump mendukung penuh langkah diskriminatif berupa pemberian tanda identitas khusus untuk Muslim.
Api kemarahan dan reaksi internasional ini tidak mudah dilupakan. Posisi Trump sebagai pengusaha dan selebritas dunia membuat sikapnya yang diskriminatif terhadap Muslim ini jadi catatan dunia, tepat di saat prasangka dan kebencian terhadap Muslim baru saja dimunculkan oleh ulah ISIS. Jadi, kehadiran Trump tanpa disadari telah menjadi “berkah” tersembunyi, untuk menandingi dan meredakan citra negatif terhadap Muslim. Mungkin “tangan Tuhan” telah ikut bermain di sini ***
Artikel ini ditulis oleh: