Jakarta, Aktual.com — “Hutan mangrove memiliki multifungsi, berfungsi secara ekonomi dan berfungsi secara proteksi maupun konservasi, baik itu buah, kayu, maupun daun, semuanya adalah hal-hal yang sangat bermanfaat,” kata Profesor Soekristijono Soekardjo dari Institut Sains dan Teknologi.

Namun, kata Prof. Soekristijono, tidak semua masyarakat, bahkan pemerintah memahami fungsi tersebut dalam melestarikan mangrove yang ada di sekitarnya.

Mangrove merupakan wilayah pesisir yang memiliki ekosistem transisi karena dipengaruhi daratan dan lautan. Hutan ini memiliki ekosistem sendiri dan memiliki fungsi ekologis yang luar biasa.

Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, juga menjadi tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota.

Dengan mangrove pula, warga pesisir aman dari abrasi pantai, amukan angin topan, dan tsunami.

Dalam konteks perubahan iklim saat ini, ekosistem mangrove menjadi sangat penting untuk dilestarikan karena memiliki nilai strategis dalam menyimpan karbon atau mengurangi emisi karbon dioksida.

Sederet alasan tersebut harusnya bisa mencegah tangan-tangan jahil merusak mangrove dengan alasan apa pun.

Teluk Tomini merupakan perairan teluk terluas di khatulistiwa serta memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan menjadi salah satu kekayaan bahari di Indonesia.

Teluk ini juga merupakan jantung segitiga terumbu karang dunia (coral triangle) yang kaya akan flora dan fauna, yakni terdapat kurang lebih 262 jenis karang dan 596 jenis ikan.

Ekosistem yang penting dari kawasan ini adalah ekosistem mangrove yang terletak di Kabupaten Pohuwato (Provinsi Gorontalo) dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Provinsi Sulawesi Utara).

Menurut laporan Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam), luasan awal wilayah mangrove di Kabupaten Pohuwato lebih dari 13.243 hektare, sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan seluas hampir 900 hektare.

Luasan itu kemudian semakin menyusut sejalan dengan kegiatan pembangunan infrastruktur dan perambahan dalam skala besar, terutama untuk pertambakan dan persawahan.

Data Dinas Kehutanan Pohuwato terdapat 8.233 hektare hutan mangrove di daerah tersebut yang berubah fungsi menjadi tambak dengan jumlah penambak sekitar 997 orang.

Jumlah itu tesebar di Kecamatan Paguat 158 hektare, Kecamatan Marisa 198 hektare, Duhiadaa 978 hektare, Patilanggio 336 hektare, Randangan 2.403 hektare, Wonggarasi 2.473 hektare, Lemito 500 hektare, Popayato Timu 0,32 hektare, Popayato 673 hektare, dan Popayato Barat 507 hektare.

Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga menjelaskan beberapa faktor internal yang mengakibatkan kerusakan tersebut.

Ia berpendapat bahwa salah satunya adalah belum jelasnya batas kawasan hutan manggrove dgn lahan masyarakat (APL).

“Selain itu, pengawasan oleh pemerintah desa, kecamatan, Dinas Kehutanan, dan instansi terkait, terutama BKSDA, belum maksimal. Apalagi, anggaran sarana dan prasarana pengamanan mangrove juga minim,” katanya.

Bahkan, lanjut dia, penduduk dari luar daerah berbondong-bondong datang ke Pohuwato demi membuka tambak perikanan di kawasan mangrove.

Meratapi setiap jengkal kerusakan saja tidak cukup. Beberapa tahun terakhir kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis lingkungan hingga dukungan lembaga internasional mulai melirik upaya pemulihan mangrove di Pohuwato.

Mangrove for the Future (MFF) merupakan salah satu program yang menggandeng seluruh unsur tersebut, bersatu melawan laju kerusakan dan mengembalikan kehidupan ekosistem.

Project Manager Mangroves for the Future Raquibul Amin mengatakan bahwa program tersebut merupakan respons dari ekosistem yang kompleks. Dampak bencana alam seperti tsunami bisa dikurangi atau diminimalkan.

Sejumlah lembaga dan kelompok masyarakat, seperti Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) Paddakauang, Yayasan Insan Cita, Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya (Japesda), Destructive Fishing Watch (DFW), PKE2L Universitas Negeri Gorontalo, dan LSM perempuan WIRE-G, terlibat dalam setiap kegiatan kemitraan.

“Meskipun program ini judulnya adalah mangrove, sebenarnya apa yang kami lakukan ini tidak terbatas hanya pada hal itu, tetapi juga kepada kegiatan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan. Dari inisiasi awal yang banyak terkait dengan rehabilitasi, kemudian sekarang beralih pada konsep memberikan respons terhadap ketahanan masyarakat pesisir,” katanya.

Rehabilitasi di antaranya dengan melakukan penanaman kembali bibit mangrove di wilayah yang telah rusak dengan melibatkan masyarakat yang pada sebelumnya tanpa sadar terlibat dalam perusakan mangrove untuk kebutuhan rumah tangga.

Mangrove for the Future juga ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa mangrove penting bagi kehidupan dalam jangka panjang.

Selama intervensi program tersebut, masyarakat mulai menyadari potensi pemanfaatan berkelanjutan mangrove untuk menunjang ekonomi rumah tangga.

Kaum perempuan di wilayah pesisir sudah mulai memanfaatkan buah mangrove sebagai bahan makanan pengganti tepung untuk pembuatan kue, pembuatan gula nipah sebagai pengganti gula aren, abon ikan, teh, sirop, dan produk makanan berbasis mangrove lainnya.

Melalui pendidikan di sekolah, siswa juga dijejali dengan pengetahuan pentingnya menjaga dan memelihara fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi mangrove.

“Kami sudah berpartisipasi, baik dari kaum perempuannya maupun masyarakat nelayan, ramai-ramai menanam mangrove. Kami juga melakukan sosialisasi dari satu rumah tangga satu ke rumah lainnya,” kata Ketua KSL Paddakauang di Desa Torosiaje Jaya, Kecamatan Popayato.

Menurut dia, nelayan di Torosiaje juga diberi pelatihan membudidayakan ikan karang, seperti kerapu macan dan ikan kue, dengan cara jaring apung.

“Hasilnya kami nikmati sekarang ini karena sudah panen. Hasil panen sembilan jaring saja bila dijual bisa mencapai 30 juta rupiah,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: