Jakarta, Aktual.com — Tasmian, sang istri dan ketiga putra-putrinya bersila berjejer sambil mendaras ayat-ayat Surat Yasin di depan ruang, menghadap pusara yang ditutup kelambu putih.
Mereka bergumam seraya sesekali menatap kelambu yang menyelubungi kuburan seseorang yang dikeramatkan oleh sebagian besar pemeluk Islam khususnya yang berkultur Nahdlatul Ulama.
Di makam Sunan Giri itulah Tasmian (50), yang mencari nafkah sebagai pedagang keliling perabotan rumah tangga, menghabiskan Lebaran dengan berzirah dan beritikaf di makam salah satu Wali Songo yang riwayatnya melegenda di mata orang Gresik, Jawa Timur, dan sekitarnya.
Tasmian yang tinggal di kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik itu prototipe sosok yang mengutamakan spiritualisme di atas materialisme dan mencoba menghalau pengaruh modernisme.
“Saya berharap anak-anak saya menyempatkan sebagian hidupnya untuk urusan akhirat. Makanya saya mengajak mereka ke sini. Setahun sekali saya ke makam Kanjeng Sunan Giri,” tutur pria yang pernah nyantri di Tebuireng, Jombang tersebut.
Pada hari pertama Idul Fitri 1436 Hijriyah itu, begitu selesai shalat Ied, dia dan keluarganya melakukan “sungkem” kepada orangtua dan mertuanya serta kerabat mereka, kemudian dilanjutkan meluncur ke bukit Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jumat.
Ya, pada hari kemenangan itulah Tasmian mengajak keluarganya berzirah dalam kesunyian ketika para keluarga lain cenderung memilih tamasya ke Tanjung Kodok, Tunjungan Plaza atau menikmati tontonan penuh gelak tawa di layar kaca.
Di depan pusara Raden Paku yang riwayat hidupnya dibalut dalam sejumlah versi sejarah itu, Tasmian menyesap suasana spiritual yang senyap. Aura “gaib” menguar di ruang kubus beratap pendek remang-remang itu.
Ada belasan pendaras ayat-ayat suci pada siang selepas zuhur itu. Mereka sebagian besar orang-orang tua. Hanya Tasmian yang terlihat mengajak serta anak-anak.
Beda dengan Tasmian, orang-orang Gresik pada umumnya berziarah ke makam pendiri Kerajaan Kedaton Giri itu pada malam ke-25 Ramadhan, bukan saat Lebaran.
Pada saat itu makam Sunan yang juga dijuluki Raden Ainul Yakin riuh oleh ribuan pengunjung yang berduyun-duyun memohon berkah Allah SWT dengan mendaras ayat-ayat di dekat pusara sang Sunan.
Di kompleks pemakaman itu juga terdapat ratusan makam yang diyakini masih kerabat sang Sunan, terlihat berjajar rapi dalam komposisi batu-batu nisan tanpa nama.
Dalam salah satu sekte atau mashab di khazanah keislaman, ziarah kubur diharamkan. Namun mashab itu tak digubris oleh orang-orang Muslim di Gresik.
Dari era 1970-an hingga sekarang, kompleks pusara Sunan Giri selalu menjadi magnet kelimun Muslim di Gresik setiap malam ke-25 Ramadhan Penghormatan suci warga Gresik pada Sunan Giri tak terlepas dari kisah-kisah legendaris sang Sunan yang menjadi salah satu tokoh historis pembangun kota Gresik dan menjadi leluhur warga kota itu.
Seperti dipercaya warga Gresik, menziarahi makam Sunan Giri pada malam ke-25 Ramadhan dapat mendatangkan keselamatan ruhaniah, menjauhkan seseorang dari kehinaan.
“Asal semua itu dilakukan dengan hati tulus dan ikhlas,” kata kiyai Rofiq, sesepuh di komunitas Giri.
Namun, tentu saja, sebagian orang yang hadir di malam “selaweh Ramadhan” itu terdiri atas remaja yang mengaku berziarah sekadar untuk memenuhi rasa ingin tahu tentang suasana Giri di malam hari yang spesifik itu.
Dalam babad Jawa, Sunan Giri disebutkan membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas di Gresik.
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad menuturkan bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI).
Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera, yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri.
Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
Ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden ‘Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jejulungan dan Cublak Suweng serta gending Asmaradana dan Pucung.
Paradigma dakwah Islam Sunan Giri yang mengawinkan iman dan seni serta kultur lokal itulah yang menjadikan Sunan Giri sampai sekarang lebih banyak dikenang dan dikeramatkan oleh warga Gresik.
Fenomena itu pula yang membedakannya dengan Sunan Malik Ibrahim, anggota lain dari wali songo yang juga dimakamkan di Gresik.
Artikel ini ditulis oleh: