Presiden Joko Widodo - Program Tax Amnesty. (ilustrasi/aktual.com)
Presiden Joko Widodo - Program Tax Amnesty. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini kembali menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.010/2016 tentang perubahan PMK-118/PMK.010/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Namun sayangnya, PMK ini mulai ditentang publik. Pasalnya, terselip pasal yang berpotensi untuk adanya perlindungan terhadap kejahatan korupsi.

“Jadi, demi tegaknya pelaksanaan UU Pengampunan Pajak agar tidak disalahpahami PMK ini sebagai perlindungan bagi para pelaku kejahatan termasuk tindak pidana korupsi, maka saya meminta Menkeu segera menghapus Pasal 47A PMK ini,” jelas Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, di Jakarta, Rabu (28/9).

Untuk itu, agar Menkeu tidak terkena virus-virus yang bisa menghambat pelaksanaan program tax amnesty itu, maka dirinya sangat menghimbau agar pihak-pihak terkait tidak mengintervensi Menkeu.

“Karena jika Menkeu terus diintervensi, maka tidak dapat berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya dengan baik,” jelas dia.

Pasal 47A PMK itu berbunyi: “Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 juga dimiliki dan digunakan oleh otoritas yang berwenang untuk melakukan penanganan tindak pidana yang bersifat Transnational Organized Crimes (TOC) meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, dan/ atau perdagangan manusia, otoritas yang berwenang dimaksud tetap dapat
melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan terkait.”

Sementara Pasal 47 PMK sendiri berbunyi: “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.”

Menurut Prastowo, rumusan Pasal 47A tersebut sangat berpotensi menyimpang dan dimaknai berbeda dari maksud dan makna UU Pengampunan Pajak tersebut.

“Sebab, dalam UU Pengampunan Pajak itu jelas yang diampuni hanya pidana pajak dan perlindungan data diberikan tanpa mengurangi kewenangan penegak hukum lain melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan pidana selain pajak, dengan syarat tidak bersumber dari data tax amnesty,” papar dia.

Dia menegaskan, rumusan Pasal 47A PMK-141/PMK.010/2016 ini malah mengaburkan pengaturan dan pembatasan di UU dan justru mengatur hanya untuk tiga jenis pidana yaitu narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia. Dan jika data yang dimiliki otoritas berwenang tetap dapat ditindaklanjuti.

Jadi dengan kata lain, ujarnya, meskipun otoritas penegak hukum selain yang memiliki kewenangan atas tiga jenis pidana memiliki data di luar data tax amnesty, justru tidak dapat melakukan penegakan hukum menurut PMK ini.

“Padahal UU jelas tidak membatasi atau melarang penegakan hukum selain terhadap pidana pajak,” tegasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka